Minggu, 25 Mei 2008

artikel


ILMU DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PENDIDIK

DALAM ISLAM

Oleh: Zulkifli Syah, S.Ag

I. PENDAHULUAN

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan di kaji secara terbuka oleh Masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan Ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton dan Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas Individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.[1]

Dalam Islam ada tanggung jawab besar yang diperhatikan dan disoroti oleh penalaran logika, yakni tanggung jawab seorang pendidik. Pendidik mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya, seperti tanggung jawab Iman, tanggung jawab etika, tanggung jawab fisik, tanggung jawab Rasio, tanggung jawab kejiwaan, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab seksual. Tanggung jawab tersebut merupakan suatu amanah yang harus diembannya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di sekolah, namun yang tidak kalah pentingnya terlibat secara langsung di masyarakat, dan dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku seorang pendidik tidak berhenti pada penelaahan keilmuan di sekolah secara individual namun ikut juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

Diantara tanggung jawab besar seorang pendidik adalah berupa tanggung jawab pengajaran, bimbingan dan pendidikan. Ini sesungguhnya bukan tanggung jawab kecil dan ringan, karena tanggung jawab dalam persoalan ini telah dituntut sejak seorang anak dilahirkan hingga ia menginjak usia dewasa yang sempurna. Jelaslah, bahwa seorang seorang pendidik, baik guru, ayah dan ibu, maupun tokoh masyarakat, ketika melaksanakan tanggung jawabnya secara sempurna, melaksanakan kewajiban-kewajiban penuh dengan rasa amanat, kesungguhan, serta sesuai dengan petunjuk Islam, maka sesungguhnya ia telah mengarahkan segala usaha untuk membentuk individu yang penuh dengan kepribadian dan keistimewaan.

Ketika seorang pendidik yang telah diperkaya dengan ilmu pengetahuan, maka dia mempunyai tanggung jawab moral untuk mengimplementasikan keilmuannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, Keilmuan seorang pendidik tidak akan terlepas dari tanggung jawabnya dari sisi manfaat dan mudharat kepada orang lain.

Namun, jika proses penerapan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang pendidik belum diterapkan secara maksimal, maka akibatnya akan menimbulkan banyak penyelewengan dan ketimpangan. Sifat amoral tidak bisa dielakkan lagi, nilai-nilai keimanan tertepikan, nilai-nilai pendidikan moral terabaikan, serta kehidupan sosial kemasyarakatan tak dihiraukan lagi. Jika hal tersebut tidak dicarikan solusi dan penyelesaiaannya maka seorang pendidik dianggap tidak berhasil di dalam membimbing, membina, dan mengarahkan masyarakatnya.

Menarik untuk dikaji pada makalah ini adalah seputar tentang bagaimana klasifikasi atau pembagian ilmu menurut para filosof dan hierarki ilmu dapat dipahami secara sempurna. Dan bagaimana pokok-pokok tanggung jawab pendidik dalam membimbing dan membina masyarakat agar produk keilmuannya dapat disosialisasikan dan diterapkan dalam kehidupan.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu dan Tanggung Jawab

Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘Alima, ya’lamu, ‘Ilman, dengan wazan (timbangan) fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar.[2] Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan)- scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.[3] Jadi, pengertian ilmu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[4] Pada umumnya, ilmu didefinisikan sebagai sejenis pengetahuan, tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuan.[5]

Definisi ilmu menurut para ahli berbeda-beda, di antaranya:[6]

- Muhammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunan dari dalam.

- Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sitem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

Dari beberapa definisi tentang ilmu yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal obyektif, dapat diukur, terbuka serta komulatif.

Tanggung jawab adalah Keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)[7]. Istilah tanggung jawab dalam bahasa Inggris (responsibility)[8], dan dalam bahasa Latin responsum (jawaban)[9]. Lorens Bagus berpendapat bahwa Konsep tanggung jawab berdasarkan ide-ide: Pertama, Kewajiban. Maksudnya terdapat tindakan-tindakan yang harus dan dapat dijalankan oleh suatu makhluk sosial. Kedua, Liabilitas (kemungkinan untuk digugat). Artinya, kelalaian seseorang terhadap tindakan-tindakan ini dapat dikenakan hukuman. Ketiga, ketaatan seseorang terhadap tindakan-tindakan ini berkaitan dengan ganjaran (penghargaan, pujian).[10]

Dari ketiga konsep tanggung jawab yang dikemukakan Lorens Bagus tersebut maka penulis berasumsi bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kehidupan sosial, artinya seorang ilmuan atau pendidik memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupan masyarakat untuk mempertanggung jawabkan keilmuan yang dimilikinya, dan jika dalam penerapan keilmuan tersebut terjadi kekeliruan atau kesalahan maka ia dituntut dan digugat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

B. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu

Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) di masukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tak berguna.[11] Klasifikasi ini memberikan makna implisit menolak adanya sekularisme, karena wawasan Yang Kudus tidak menghalang-halangi orang untuk menekuni ilmu-ilmu pengetahuan duniawi secara teoritis dan praksis.[12]

Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis (urutan atau tingkatan)[13]ilmu-ilmu metodologis, ontologis dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuan muslim sesudahnya membuat kalsifikasi ilmu-ilmu.[14]

Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan juga teologi dialektis. Beliau memberikan rincian ilmu-ilmu relegius (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filisofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.[15]

Sedangkan Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu terakhir ini disebut juga ilmu ghairi syar’iyyah. Begitu juga Quthb al-Din membedakan jenis ilmu menjadi ulum hikmy dan ulum ghair hikmy. Ilmu non filosofis menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu relegius, karena ia menganggap ilmu itu, berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syari’ah (hukum wahyu).[16] Pemakaian istilah ghair oleh Al-Ghazali dan Quthb al-Din untuk ilmu intelektual berarti, bagi keduanya, ilmu syar’iyyah lebih utama dan lebih berperan sebagai basis (landasan)untuk menamai setiap ilmu lainnya.[17]

Dari beberapa tokoh filosof yang telah diuraikan di atas bagi penulis sangat penting diuraikan tentang klsifikasi Al-Ghazali, sebab Al-Ghazali-lah sebagai peletak dasar filosofis pertama kali teori iluminasionis dalam arti pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Dan dia berpendapat bahwa pengetahuan intuisi/ma’rifah yang datang dari Allah langsung kepada seseorang adalah pengetahuan yang paling benar.

Adapun Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah, sebagai berikut: 1) Ilmu Syar’iyyah, terdiri dari; ilmu tentang prinsip-prinsup dasar (al-Ushul), Ilmu tentang keesahan Tuhan (al-Tauhid), Ilmu tentang kenabian, Ilmu tentang akhirat atau eskatologis, Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori: yakni; Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat) dan Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari: Ilmu Qur’an, ilmu riwayat al-hadis, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh. Selain itu, ada juga Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) seperti; Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah), Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat (Ilmu tentang transaksi, termasuk qishas dan Ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum keluarga), Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak). 2) Ilmu Aqliyyah. Ilmu ini terdiri dari: Matematika (aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, musik), Logika, Fisika/ilmu alam (kedokteran, meteorologi, minerologi, kimia), Ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika, Ontologi (Penegetahuan tentang; esensi, sifat, dan aktifitas ilahi, pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana, pengetahuan tentang dunia halus (Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi),teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supranatural.[18]

Dengan klasifikasi Al-Ghazali tersebut, maka sejarah perkembangan ilmu pasca Al-Ghazali mengalami pengaruh cukup signifikan. Bahkan pemikiran ilmu di dunia Islam cenderung kurang rasionalistik dan lebih selaras dengan pandangan dunia al-Qur’an. Oleh karena itu banyak para pemikir dan filosof sesudahnya mengembalikan peran nalar pada posisi seimbang. Dengan demikian, secara umum terjadi perkembangan dalam sejarah Islam, dalam keilmuan yang meliputi; ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu tafsir, bahasa Arab, ilmu Kalam atau teologi, fiqih siyasah atau hukum tata negara, peradilan, tasawuf, tarekat, akhlak, sejarah politik, da’wah Islam, sains Islam, pendidikan Islam, peradaban Islam, perbandingan agama, kebudayaan Islam, Pembaharuan dan pemurnian dalam Islam, studi wilayah Islam, studi bahasa-bahasa dan sastra –sastra Islam. Ilmu itu kemudian berlanjut berkembang dan memiliki cabang masing-masing.[19]

Khususnya di abad kontemporer, upaya integrasi terus dilakukan guna mencapai upaya Islamisasi ilmu. Dan perihal yang perlu diketahui bahwa yang membedakan antara upaya pengembangan ataupun klasifikasi jenis dan bentuk ilmu di barat dan dunia Islam adalah Islam mengenal visi hierarki keilmuan. Yakni Islam memandang terdapat hierarki dalam obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui, juga terjabar secara hierarkis ke dalam berbagai keilmuan. Dan kemudian masing-masing ilmu memiliki visi prioritas dan relegius.[20]

C. Pokok-pokok Tanggung Jawab Pendidik.

Kalau kita teliti ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah saw. yang menganjurkan kepada para pendidik untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dan memperingatkan mereka manakala melalaikan tanggung jawab itu, maka ada beberapa tanggung jawab pendidik yang merupakan amanah yang harus dipikul. Tanggung jawab pendidik tersebut begitu banyak dan yang mendesak untuk diangkat pada makalah ini adalah tanggung jawab pendidikan Iman dan tanggung jawab pendidikan moral, mengingat dunia hari ini, sedang kehausan nilai-nilai relegius. Diantara tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab Pendidikan Iman

Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mulai mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.

Dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, semisal beriman kepada Allah swt., beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh kedua malaikat, beriman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hisab, syurga, neraka, dan seluruh perkara ghaib lainnya.

Rukun Islam adalah, setiap ibadah yang bersifat badani, maupun materi, yaitu shalat, puasa, zakat, dan haji bagi orang yang mampu untuk melakukannya.

Dasar-dasar syariat adalah, segala yang berhubungan dengan sistem atau aturan Ilahi dan ajaran-ajaran Islam, berupa akidah, ibadah, akhlak, perundang-undangan, peraturan, dan hukum.

Kewajiban pendidik adalah, menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman di atas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan teladannya.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, ada beberapa petunjuk dan wasiat Rasulullah saw. tentang pendidikan Iman kepada anak;[21]

1) Membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda; “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Rahasianya adalah, agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat yang pertama diucapkan oleh lisannya dan lafal pertama yang dipahami anak.

2). Mengenalkan hukum-hukum halal dan haram kepada anak sejak dini

Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia berkata:

“Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka”.[22]

Jika kita memperhatikan pernyataan dari Ibnu Abbas ra. Tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa Allah memerintahkan kepada pendidik atau orang tua untuk mengajari anak-anaknya mentaati Allah swt. yakni dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah swt. agar terhindar dari siksaan api neraka, dan sekaligus memberikan motifasi akan pentingnya pengenalan hukum-hukum halal dan haram yang ditetapkan di dalam agama Islam atau yang menjadi ketentuan syara (hukum). Dan selanjutnya anak selain memahami hukum-hukum tersebut, tidak ada salahnya jika diperkenalkan hukum-hukum yang lain, selain hukum Islam.

3) Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun.

Al-Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Amr nin al-Ash ra. Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

“Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila tidak mau melakukannya disaat mereka berusia sepuluh tahun lalu pisahkanlah tempat tidur anak laki-laki dan perempuan”.

Dari hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw., Memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat, ketika mereka berumur 7 (tujuh) tahun. Bila anak-anak telah mencapai usia 10 (sepuluh) tahun maka mereka dapat diajari tentang pokok-pokok shalat, tentang gerakan-gerakan dan bacaan-bacaannya. Supaya hal ini dapat dilaksanakan dengan baik dan benar maka orang tua terlebih dahulu memberikan contoh, dan menjadi teladan rajin melaksanakan shalat lima waktu. Dan apabila pada usia ini anak enggan melaksanakannya padahal sudah dibimbing, dibina dan dipraktekkan oleh orang tua, maka Rasulullah menyatakan pukullah ia. Penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan memukul pada teks hadis tersebut adalah pukulan yang membuat anak sadar akan pentingnya shalat, dan bukan pukulan yang menyakitkan badan/jasmani dan jiwa anak.

4) Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca al-Qur’an.

At-Tabrani meriwayatkan dari Ali ra. Bahwa Nabi saw. bersabda:

“Didiklah anak-anak kamu pada tiga hal: mencintai Nabi kamu, mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur’an. Sebab, orang-orang yang ahli al-Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari perlindunganNya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang suci”.[23]

Melihat hadis Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik diberikan amanah oleh Rasulullah saw. untuk mendidik anak-anaknya kepada tiga hal yakni mencintai Nabinya, mencintai keluarganya dan mencintai al-Qur’an yaitu dengan membacanya. Mengapa hal ini dianjurkan Rasulullah saw.? sebab, orang-orang yang senantiasa memelihara tiga hal tersebut, akan berada dalam lindungan Allah swt. pada saat tidak ada perlindungan di hari Akhirat selain perlindungan Allah swt.

2. Tanggung Jawab Pendidikan Moral

Yang dimaksud dengan pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadiskan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan. Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan seseorang yang benar.

Para ahli pendidikan dan sosiologi barat sangat menaruh perhatian akan adanya pertalian erat, antara iman dengan moral dan akidah dengan perbuatan. Sehingga mereka mengeluarkan beberapa petunjuk, pendapat dan pandangan yang menyesatkan, bahwa ketentraman, perbaikan dan moral tidaka akan tercipta tanpa adanya agama dan iman kepada Allah swt.

Beberapa pendapat dan pandangan mereka diantaranya;[24] Pachtah, seorang filosof Jerman mengatakan, “Moral tanpa agama adalah sia-sia.” Ghandi, Tokoh pimpinan India menyatakan, “Agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu. Dengan kata lain, agama memberikan makan, menumbuhkan dan membangkitkan moral, seperti halnya air memberikan makanan dan menumbuhkan tanaman.” Denank, seorang hakim Inggris menyatakan kecamannya terhadap seorang menteri Inggris yang telah bertindak amoral, “Tanpa agama, tidak mungkin di sana akan ada moral. Dan tanpa moral, tidak mungkin akan tercipta undang-undang. Agama adalah satu-satunya sumber yang terpelihara dan dapat membedakan moral baik dan buruk. Agamalah yang mengikatkan manusia untuk meneladani sesuatu yang paling luhur. Agamalah yang membatasi egoisme seseorang, menahan kesewenang-wenangan naluri, dan menanamkan perasaan halus yang hidup dan menjadi dasar keluhuran moral. Kant, seorang filosof kenamaan sebagaimana telah disebutkan di atas mengatakan, “Moral itu tidak akan tercipta tanpa adanya tiga keyakinan, yaitu keyakinan adanya Tuhan, kekalnya roh dan adanya perhitungan setelah mati.”

Dengan melihat berbagai pendapat para filosof tersebut, maka jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dari aspek moral. Karena pentingnya pendidikan moral ini, Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada kita, Pertama; “Tiada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik”. Kedua; “Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Ketiga; “Ajarkalah kebaikan kepada anak-anak mu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.

Dari sabda Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik hendaknya memperhatikan pendidikan moral, etika dan budi pekerti untuk ditanamkan sejak usia dini dalam rangka membentuk jiwa dan kepribadian mereka dimasa yang akan datang. Jika penerapan sikap ini sudah tertanam di dalam jiwa anak, maka kehidupan sosial kemasyarakatan akan membawa dampak yang positif. Ini berarti bahwa seorang pendidik telah berhasil dalam proses pendidikannya.

III. PENUTUP

Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarki yakni ilmu-ilmu metodologis, ontologis dan etis. Al-Ghazali adalah salah seorang filosof Muslim yang telah membagi ilmu menjadi dua bagian yakni ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Klasifikasi ilmu Al-Ghazali menjadi rujukan munculnya berbagai cabang ilmu yang lain yang dikembangkan oleh para ilmuan sesudahnya. Tanggung jawab sosial pendidik memiliki pokok-pokok tanggung jawab yang sangat urgen dan kompleks seperti; tanggung jawab pendidikan Iman dan tanggung jawab pendidikan moral. Perlu diupayakan penerapan ilmu bagi pendidik kepada anak didik sehingga keilmuan yang diperolehnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Perlunya disosilisasikan dengan sungguh-sungguh beberapa tanggung jawab di atas, dalam rangka membentuk jiwa anak untuk berkepribadian yang Islami.

Demikianlah tulisan yang sederhana ini, Penulis masih mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, guna memperoleh kesempurnaan tulisan ini.Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia, 2000.

Bahthiar, Amsal. Filsafat Ilmu ,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Bakar, Osmar. Hierarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998. cet. III.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. cet.I edisi.III.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia Jakarta: PT Gramedia, 2003.

Kamarulzaman, AKA. Kamus Ilmiah Serapan,Yogyakarta: Absolut, 2005.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 1984.

Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1989. cet.I

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.


[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 237.

[2]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 1984), hlm. 1036.

[3]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 12.

[4]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, cet.I edisi.III, 2001), hlm. 423.

[5]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,2002), hlm. 527.

[6]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 15.

[7]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1139.

[8]John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2003), hlm. 481.

[9]Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia, 2000), hlm. 1067.

[10]Ibid.

[11]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu , hlm. 122.

[12]Ibid.

[13]AKA Kamarulzaman, Kamus Ilmiah Serapan (Yogyakarta: Absolut, 2005), hlm. 252.

[14]Osmar Bakar, Hierarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan, cet. III, 1998), hlm.161-171.

[15]Ibid.

[16]Ibid.

[17]Ibid.

[18]Ibid.

[19]Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, cet.I, 1989), hlm. 351.

[20]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu , hlm. 128.

[21]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 166.

[22] Ibid., hlm. 168.

[23] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hlm. 168.

[24]Ibid., hlm. 196-197

Tidak ada komentar: