Jumat, 09 Mei 2008

Artikel Pendidikan


PROBLEMATIKA LEMBAGA PENDIDIKAN SWASTA

Antara Cita dan Realita

Oleh : M. Fadholi Noer

Abstraksi

Tak seorangpun dapat mengingkari pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan ini telah mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan. Pengelolalaan pendidikan oleh masyarakat merupakan wujud nyata partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa di antara bangsa-bangsa lain.. Namun sayangnya, partisipasi masyarakat yang sangat besar ini seringkali kurang mendapat sambutan semestinya oleh pemerintah. Perlakuan yang kurang adil dalam pembiayaan pendidikan merupakan contoh paling nyata. Tulisan berikut mencoba menganalisis dan mendudukan posisi pendidikan swasta yang selama ini terkesan dianaktirikan.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sebuah kata yang menggelitik banyak elemen masyarakat Indonesia bahkan insan seluruh jagad raya. Pendidikan selalu menjadi masalah yang aktual dalam kehidupan manusia sehari-hari. Masalah pendidikan adalah masalah yang rumit, karena banyak hal yang saling kait mengkait, bahkan disana-sini sering timbul berbagai masalah seperti kurangnya sarana, kurangnya tenaga porfesional, kurangnya dana akan selalu mewarnai dunia pendidikan, lebih-lebih bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Belum lagi kalau kita dihadapkan pada suatu pilihan yaitu antara kuantitas dan kualitas pendidikan.

Dalam dunia pendidikan kita, tidak pernah akan “menarik” jika dikatakan sudah bebas dari persoalan-persoalan yang melingkupinya. Baik persoalan pada ranah filosofis, ranah adminsitratif, serta ranah metodologis. Persoalan itu timbul kemungkinan besar disebabkan karena dua hal, yang pertama karena penddikan itu sendiri tidak bisa steril dari sisi kehidupan lain (faktor ekstern), dan yang kedua karena kepedulian penguasa sebagai penyelenggara sekaligus penanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan di negeri ini yang perlu dipertanyakan.

Dalam paradigma baru pendidikan nasional yang terdapat di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) tahun 2003, tentang kesetaraan dan keseimbangan, disebutkan konsep kesetaraan antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat didalamnya tidak ditemukan adanya istilah satuan pendidikan “plat merah” milik pemerintah (baca: sekolah negeri) atau “plat kuning” milik masyarakat (baca: sekolah swasta), yang artinya bahwa dalam UU SISDIKNAS tersebut tidak membedakan pendidikan produk pemerintah (baca : sekolah negeri) dan sekolah produk swasta (baca: sekolah swasta). Dengan bahasa sederhananya pemerintah tidak memposisikan sekolah-sekolah swasta sebagai “anak tiri” dalam konstalasi perpolitikan pendidikan nasional. Sehingga idealnya semua sekolah baik negeri ataupun swasta berhak memperoleh dana, layanan dan kemudahan-kemudahan dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini secara adil atau tanpa diskriminasi dari negara dalam suatu sistem yang terpadu.[1] Terlepas dari idealitas yang ada di UU SISDIKNAS, tulisan ini ingin melihat idealitas itu dalam “ Cita dan Realita” sekolah Swasta di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Tujuan Pendidikan dalam UU SISDIKNAS

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai potensi yang merupakan anugerah tersendiri dari Tuhan. Potensi yang dimilikinya harus dikembangkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pengembangan tersebut bisa dilakukan dengan cara mendidik, membina dan mengarahkan, dengan bahasa yang sederhana manusia itu butuh pendidikan.

Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan keberlangsungan pendidikan (yang dibutuhkan manusia), dituangkan dalam tatanan UU SISDIKNAS. Dalam UU SISDIKNAS tahun 2003, mengenai pendidikan, pemerintah merumuskan tujuan pendidikan tersebut, bahwa pendidikan berorientasi pada pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan bangsa, serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang siap IMTAK dan IPTEK.[2] Menurut rumusan ini ada dua hal yang akan menjadi sasaran pendidikan yaitu ranah kecerdasan spiritual (termasuk juga emosional) dan kecerdasan intelektual. Namun demikian bukan berarti rumusan diatas sudah sempurna. Akan tetapi beberapa hal yang belum terakomodir dalam teks undang-undang tersebut, yaitu menafikan peran manusia dari segi sosial yang ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan masyarakat sebagaimana diamanatkan PBB.[3]

Dalam pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan-kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi”.

Pasal di atas dapat ditafsirkan ke dalam pengertian, bahwa pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pendidikan, memberikan layanan dan kemudahan kepada setiap warga (baca: pendidik, peserta didik dan masyarakat) untuk mendapatkan layanan pada lembaga-lembaga pendidikan negeri ataupun swasta dengan tanpa adanya diskriminasi. Kalimat “tanpa diskriminasi” yang terdapat pada pasal 11 ayat (1) tersebut dapat diartikan juga bahwa tidak adanya perlakuan pemerintah yang berbeda terhadap sekolah negeri maupun swasta. Dengan kata lain semua mendapat perlakuan yang sama dalam tatanan idealnya, sehingga tidak akan muncul istilah "penganak- emesan" pada sekolah milik pemerintah saja (baca: sekolah negeri).

2. Peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan dan penentuan kebijaksanaan pemerintah (melalui Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional) di Indonesia. Peran serta masyarakat mempunyai fungsi ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada di masyarakat bagi penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dirinci menjadi beberapa jenis: (1) pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis sekolah kecuali sekolah kedinasan, dan pada semua jenjang pendidian di jalur sekolah; (2) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan dan bantuan untuk peserta didik; (3) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan; (4) pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional, (5) pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa (6) pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, (7) pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar; (8) pemberian kesempatan untuk magang dan atau latihan kerja; (9) pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraaan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional; (10) pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan atau penyelenggaraan pendidikan nasional; (11) pemberian bantuan dan kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (12) keikutsertaan dalam program pendidikan dan atau penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah di dalam dan atau di luar negeri.

3. Penyelenggaraan Pendidikan dan Potret Lembaga Pendidikan Swasta

Hal yang masih menjadi problem “berat” dalam penyelenggaraan pendidikan nasional bangsa Indonesia adalah masalah adanya penyelenggaraan pendidikan yang mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah yaitu lembaga pendidikan yang diurus oleh pemerintah (sekolahan atau PT negeri) dan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang kurang (kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali) mendapatkan perhatian dari pemerintah. Adanya dikotomisasi antara pendidikan negeri dan swasta setelah pemerintah Orla mengeluarkan Undang-undang No. 12 tahun 1954. Menurut Mastuhu hal tersebut mengimplikasikan banyak hal negatif yang menyimpang dari cita-cita pendidikan, yaitu diskriminasi pendidikan antara sekolahan-sekolahan negeri dan swasta, mata pelajaran agama dan umum.[4]

Penyelenggaraan pendidian yang diskriminatif tersebut seharusnya sudah tidak terjadi lagi, kalau kita membaca UU SISDIKNAS tahun 2003 pasal 11 yang mengatakan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah berkewajiban memberikan layanan, kemudahan, dan penyelenggaraan pendidikan yang tanpa diskriminatif.[5]

Selain itu dalam amanat Pembukaan UUD 1945 negara (pemerintah) mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 pasal 45.

Perlakuan diskriminatif serta adanya dikotomisasi antara pendidikan negeri dan swasta sesungguhnya dapat dikategorikan melanggar UU serta dapat dikatakan sebagai tindakan education crime yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu sikap dualisme pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bisa diartikan sebagai sikap yang kurang memperhatikan nasib pendidikan nasional.[6]

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa timbulnya lembaga pendidikan negeri dan swasta karena pemerintah Orla mengeluarkan Undang-undang No. 12 tahun 1954. adanya pendidikan yang berlabel negeri dan swasta sangat berdampak pada perjalanan pendidikan nasional. Kita bisa melihat misalnya pemerintah hanya memperhatikan sekolahan-sekolahan yang negeri, baik dari segi sarana, prasarana, tenaga pengajar (guru/dosen), mutu pendidikan, dan fasilitas lainnya. Sementara sekolahan atau lembaga pendidikan yang diurus oleh masyarakat atau sekolahan swasta harus kerja keras mencari sumber-sumber pendanaan sendiri di satu sisi dan dituntut untuk menghasilkan mutu yang berkwalitas di sisi lain. Karena harus mencari sumber pendanaan sendiri tak jarang ditemukan sekolahan-sekolahan yang sudah tidak layak pakai, misalnya gedung yang sudah bengkak-bengkak, atap bocor, dan tidak adanya fasilitas untuk pembelajaran.

Kondisi di atas masih diperparah lagi dengan adanya kesan masyarakat (public image) yang mengatakan bahwa sekolahan swasta tidak bermutu dan mahal. Sebetulnya kalau kita mau telusuri lebih lanjut sebetulnya image tersebut tidak salah. Sekolahan negeri hampir dapat dipastikan segala kebutuhannya dicukupi oleh pemerintah, mulai dari tenaga pengajar, gedung, dan sumber-sumber belajar lainnya, sehingga sekolahan negeri dapat dipastikan mempunyai fasilitas yang lebih dibandingkan dengan sekolahan swasta. Seluruh fasilitas yang ada di sekolahan negeri adalah subsidi dari pemerintah, maka sekolahan tidak perlu menarik SPP (biaya bulanan) kepada siswa melebihi sekolahan swasta.

Karena mempunyai fasilitas dan sumber belajar yang relatif lengkap dibandingkan dengan sekolahan swasta, maka output-nyapun lebih mempunyai kompetensi yang lebih baik ketimbang sekolahan swasta. Kondisi dan keberadaan sekolahan negeri dan swasta di negeri ini lebih banyak sekolahan swasta, artinya orang yang akan masuk pada sekolahan negeri harus bersaing ketat karena daya tampung sekolahan negeri sangat terbatas.

Kondisi “negatif” lembaga pendidikan swasta sebagaimana tercermin di atas tidak serta merta bahwa sekolahan swasta tidak mempunyai keunggulan atau nilai positif sekalipun. Paling tidak kita akan menemukan dua segi yang dimiliki oleh sekolahan swasta yang itu justru akan menjadi problem besar bagi sekolahan negeri setelah adanya desentralisasi dan otonomisasi.

Pada segi organisasi tidak sedikit sekolahan swasta yang sudah menunjukkan efisiensi yang cukup memadai. Karena alasan berbagai hal organisasi di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi swasta lebih ramping dan efisien. Misalnya diatas kepala sekolah hanya ada pengurus yayasan yang bertindak sebagai pemilik sekolahan serta pembuat kebijakan dasar. Hubungan antara pimpinan sekolah dengan pengurus yayasanpun lebih dekat, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh sekolahpun yayasan bisa memahami dan terdeteksi. Dari segi pengelolaan keuanganpun, sekolahan swasta seringkali lebih menunjukkan sikap kemandirian. Banyak sekolahan swasta yang mampu membiayai seluruh proses pembelajaran dengan sedikit subsidi dari pemerintah, atau bahkan tanpa subsidi pemerintah sekalipun.

4. Pengelolaan Sekolah Swasta

a. Pengelolaan sekolah di Depdiknas

Pada dasarnya pertanggung jawaban manajemen dan kontrol sekolah di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sekolahan negeri dan sekolahan swasta. Jenis pertama, sekolah negeri adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah; sebaliknya jenis kedua, sekolah swasta adalah sekolah yang hanya dalam hal-hal tertentu mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dan sebagainya) sehingga sekolah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolaan serta kontrol pemerintah.

Secara kuantitatif, serta berdasarkan jejang pendidikan, kontribusi sekolah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan pra sekolah, kontribusi sekolah swasta sangat besar dari 1997/1998 s.d. 1999/2000, ada sedikit penurunan partisipasi (walaupun tidak signifikan) dari sekolah swasta akan tetapi dapat dikatakan bahwa hampir seluruh taman kanak-kanak (TK) diselenggarakan oleh lembaga swasta (lebih dari 99%). Sementara pada jenjang sekolah dasar (SD), SD negeri sangat mendominasi keberadaan SD. Keadaan ini merupakn salah satu sukses dari pelaksanaan Intruksi Presidan dalam bentuk “SD Inpres” yang dimulai tahun 1973.[7]

Secara kualitatif, belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia. Namun demikian, secara kasuistik, untuk pendidikan menengah khususnya di Jawa Tengah dan DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa beberapa sekolah menengah swasta memiliki kualitas yang sama atau lebih baik dari sekolah menengah negeri akan tetapi secara keseluruhan kualitas sekolah menengah swasta lebih rendah dari kualitas sekolah menengah negeri. Secara umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas sekolah swasta.[8]

b. Pengelolaan Sekolah di Depag

Jenjang-jenjang madrasah yang dikelola oleh Departemen Agama (Depag) sangat mirip dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Depdiknas. Walaupun madrasah memiliki karakteristik dan struktur seperti karakteristik sekolah pada umumnya, madrasah tidak disupervisi oleh Depdiknas tetapi disupervisi oleh Depag sebagaimana ditegaskan oleh Keppres NO. 34 (1972).

Selanjutnya, Keppres tersebut bersama dengan Peraturan Pelaksanaannya “Instruksi Presidan” No. 15 (1972) memberikan seluruh kewenangan kepada Depdiknas untuk menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan di sekolah negeri maupun swasta termasuk pengembangan program-program pendidikannya. Akan tetapi pada kenyataannya, Depdiknas hanya memiliki kontrol yang terbatas terhadap sekolah dan bahkan sangat sedikit (kalau dikatakan tidak ada) terhadap madrasah.

Seperti halnya pengelolaan sekolah di Depdiknas, pada dasarnya pertanggung jawaban manajemen dan kontrol madrasah juga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu madrasah negeri dan madrasah swasta. Jenis pertama, madrasah negeri, adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama); sebaliknya jenis kedua, madrasah swasta adalah madrasah yang hanya dalam hal-hal tertentu saja mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dan sebagainya) sehingga madrasah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolan serta kontrol pemerintah. Secara kuantitatif, serta berdasarkan jenjang pendidikan, kontribusi madrasah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia juga cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan pra sekolah, kontribusi madrasah swasta sangat besar. Walaupun data dari 1997/1998 s.d 1999/2000 tidak lengkap (hanya tersedia data untuk tahun 1999/2000 saja) tetapi dapat diperkirakan bahwa partisipasi masyarakat/swasta adalah sangat besar serta dapat dikatakan hampir seluruh RA/BA diselenggarakan oleh lembaga swasta.

Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), MI swasta sangat mendominasi (lebih dari 93%). Walaupun ada kecenderungan bahwa partisipasi swasta sedikit menurun dalam kurun waktu tersebut tetapi penurunan ini tidak signifikan. Selanjutnya, pada pendidikan menengah di madrasah tsanawiyah (MTs) terdapat kecenderungan dimana pada kurun waktu yang sama mengalami penurunan yang berfluktuasi dan yang tidak signifikan. Pada jenjang sekolah menengah terdapat kecenderungan yang sedikit kontradiktif dengan kecenderungan di MTs walupun partisipasi madrasah swasta masi selalu jauh lebih besar daripada partisipasi madrasah negeri (sekitar 83%).[9]

5. Kontribusi Sekolah Swasta

Besarnya kontribusi sekolah swasta, yang juga berarti besarnya partisipasi masyarakat merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Sangat bervariasinya kualitas kontribusi sekolah swasta, pada umumnya lebih rendah dari rata-rata kualitas sekolah negeri, terasa belum memberikan hasil yang optimal bagi pengembangan pendidikan. Karena itu, upaya untuk lebih memberdayakan kemampuan sekolah swasta serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan perlu segera dilakukan agar tidak dicapai perkembangan pendidikan seperti yang diharapkan.

Beberapa masalah lain yang dapat diidentifikasi dalam pengembangan sekolah swasta pada saat ini antara lain. Pertama, peningkatan jumlah sekolah swasta seringkali tidak disertai dengan peningkatan kualitas sekolah. Seringkali, sekolah swasta dibangun berdasarkan lebih kepada “keinginan” daripada “keperluan” masyarakat setempat, selain itu pendistribusian sekolah swasta juga kurang tepat. Yang kedua, sekolah swasta memiliki masalah manajerial yang lebih bervariasi dibandingkan dengan masalah manajerial yang dihadapi oleh sekolah negeri. Sebagai contoh, sebelum desentralisasi pendidikan diterapkan, sekolah menengah negeri hanya mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemerintah saja (dalam hal ini “Kakanwil”) sebaliknya sekolah menengah swasta mempertanggungjawabkan kinerjanya tidak hanya pada pemerintah saja (dalam hal ini “Kakanwil”) tetapi juga kepada lembaga/yayasan yang mendirikan sekolah menengah tersebut.[10]

Ketiga, rendahnya kualitas manajemen dari sebagian besar sekolah swasta dan output pendidikannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) beberapa sekolah swasta tidak berfungsi sebagaimana seharusnya seperti yang diharapkan masyarakat sekitarnya; b) kompetensi dan kualitas guru cukup bervariasi di jenjang pendidikan dasar. Data terbaru dari Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas (2001) menginformasikan bahwa jumlah guru SD Negeri yang memiliki kelayakan mengajar sedikit lebih banyak daripada guru SD swasta sebaliknya jumlah guru SLTP negeri yang memiliki kelayakan mengajar lebih sedikit (walaupun tidak signifikan) daripada guru SLTP Swasta. Walaupun data yang disajikan hanya data SD dan SLTP. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memperkirakan bagaimana kontribusi sekolah swasta untuk pendidikan pada umumnya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas guru lebih diprioritaskan kepada sekolah negeri walaupun pada kenyataannya jumlah guru sekolah swasta jauh lebih banyak daripada jumlah guru sekolah negeri.[11] c) rendahnya kualitas sarana / prasarana di sebagian besar sekolah swasta. Salah satu penyebab hal ini adalah rendahnya anggaran pendidikan untuk sekolah swasta. Dibandingkan dengan sekolah negeri, sekolah swasta menerima jauh lebih sedikit anggaran pendidikan dari pemerintah karena seluruh sekolah swasta hanya menerima sekitar 10% saja dari seluruh anggaran pendidikan nasional.[12]

Keempat, ada beberapa bagian dari administrasi pendidikan yang perlu diperbaiki, misalnya: Job Description dari supervisi pendidikan belum dideskripsikan secara jelas. Dalam praktik sehari-hari, supervisi pendidikan hanya dipandang sebagai tugas tambahan dari kepala unit kerja, dan hal ini akan menghasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien. Dengan tidak adanya minimal requirement bagi kepala sekolah (khususnya dalam hal latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang administrasi dan supervisi pendidikan), akan dihasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien.[13]

6. Optimalisasi Peran Sekolah Swasta Ke depan sebagai Solusi

Berdasarkan keadaan di atas, partisipasi masyarakat dan swasta adalah demikian besar akan tetapi aspek kualitas kontribusi masyarakat atau partisipasi swasta masih perlu ditingkatkan serta adanya kecenderungan yang terjadi dewasa ini di dalam dunia pendidikan (yaitu penerapan manajemen pendidikan yang lebih bersifat desentralistik). Salah satu pendekatan untuk melakuan upaya optimalisasi peranan swasta/masyarakat tersebut adalah pendekatan “manajemen berbasis sekolah” serta “manajemen berbasis masyarakat”. Dengan pendekatan tersebut peran sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan dapat dioptimalkan. Upaya ini juga sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang melaksanakan perubahan sistem manajemen yang lebih bersifat desentralistik.

Pendekatan ini berupaya memperpendek jalur birokrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat diharapkan perlakuan pemerintah terhadap sekolah negeri dan sekolah swasta menjadi relatif sama. Selain itu, dengan semakin pendeknya jalur birokrasi, kemungkinan terajdinya “kebocoran” akan dapat semakin dikurangi.

Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai karakteristik bottom-up dengan anggapan bahwa aparat suatu daerah adalah yang paling mengetahui kondisi daerahnya (dibandingkan dengan aparat daerah lainnya atau bahkan petugas pusat sekalipun). Jelas, hal ini juga berlaku untuk sektor pendidikan di daerah. Selanjutnya, prinsip ini juga menuntut agar aparat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah untuk mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi masalah-masalah di lingkup kerjanya. Kemampuan problem-solving, kepekaan terhadap masalah serta kemampuan mencari alternatif penyelesaian masalah, akan sangat bermanfaat dalam melaksanakan tugas-tugas manajerial di lingkup kerja masing-masing. Selain itu, kemampuan ini harus didukung oleh tersedianya data yang relevan. Kemampuan problem-solving serta tersedianya data yang akurat, tepat guna, dan tepat waktu ini merupakan dua syarat utama yang harus dimiliki petugas daerah maupun sekolah jika efisiensi pengelolaan pendidikan di Kabupaten/Kota dan di sekolah ingin ditingkatkan.

Dalam jangka panjang, peningkatan kemampuan aparat daerah maupun sekolah dalam hal problem-solving serta mengelola dan memanfaatkan data informasi ini akan meningkatkan pula kemampuan mereka dalam mengambil keputusan sesuai dengan wewenang yang mereka miliki dan selanjutnya akan memperlancarnya upaya desentralisasi pendidikan di kabupaten/kota maupun di sekolah. Inilah yang dimaksud dengan desentralisai dalam pengelolaan pendidikan dimana aparat daerah dan aparat pusat bekerja bersama-sama saling mengisi secara harmonis, sesuai dengan kemampuan serta kewenangan masing-masing. Pada hakekatnya di dalam pengelolaan pendidikan sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi selalu bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian di atas, sistem pendidikan nasional semestinya berkembang menuju sistem pendidikan yang terpadu antara jalur sekolah (formal) dan luar sekolah (non formal) yang memungkinkan masyarakat memiliki akses dan pilihan yang semakin luas serta fleksibel terhadap pendidikan. Dengan keterpaduan sistem nasional itu akan mendukung terwujudnya proses belajar sepanjang hayat (life long learning) dan masyarakat belajar (learning society). Dengan cara itu, maka potensi-potensi masyarakat dapat dikembangkan secara optimal.

Mengenai adanya dikotomi secara realitas (meskipun dalam UU SISDIKNAS diperlakukan sama) antara sekolah negeri dan swasta baik dalam hal pelayanan maupun pendanaan, menurut penulis sebaiknya perlu adanya pengembangan kebijakan dalam rangka mengurangi akses dari dikotomi sekolah negeri dan swasta. Hal yang perlu dikembangkan untuk kebijakan tersebut adalah diperhatikan bagi sekolah negeri ataupun swasta yang dana masyarakatnya sudah cukup besar, pemerintah tidak perlu memberikan subsidi yang sama dengan sekolah yang akumulasi dananya kecil. Selain itu, perlu dicari varian-varian yang dapat dipakai untuk mendinamisasikan pendanaan pendidikan yang mengarah ke satu pola: partisipasi masyarakat lebih didorong dan yang lemah dibantu. Subsidi berkelanjutan tidak diperhitungkan secara pukul rata melainkan didasarkan atas berbagai macam pertimbangan. Misalnya jumlah siswa, status sosial ekonomi siswa, logasi geografis, bidang yang dibina (yang langka tersentuh subsidi), besar kecilnya partisipasi masyarakat dan lain-lain.


Pustaka Acuan

[1] Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pas 11 (1) dan (2)

[2] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang SISDIKNAS (Jakarta: Depag RI, 2003) hlm. 37

[3] Lihat Tilaar dalam Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yang menyebutkan bahwa UNESCO telah merekomendasikan enam pilar pendidikan yang harus dilaksanakan baik oleh negara berkembang maupun maju. Keenam pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, learning to how learn, dan learning to through out line.

[4] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2003) hlm. 21

[5] Arifin Anwar, …ibid. hlm. 40

[6] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yogyakarta: LkiS, 2005) hlm. 21

[7] www.http//cp. Pengudi luhur. Org.

[8]Suryadi A dan Tilaar H.AR. Analisis Kebijakan Pendidikan suatu Pengantar.(bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1994), hlm. 226

[9] www.pangudiluhur.org.688ms

[10] Sigit. S. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. (Jakarta:PT. Gramedia, 1992), hlm. 24

[11]Suryadi A. dan Tilaar, Analisis Kebijakan…, hlm. 232

[12] Silaban. S dkk, Pendidikan Indonesia dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta(Jakarta:, Dasa Media, , 1993), hlm. XIX

[13] Nawawi H dan Martini M. Kebijakan Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum,(Yogyakarta: UGM Press, , 1994), hlm. 288-289.

Tidak ada komentar: