Jumat, 09 Mei 2008

Artikel Pendidikan


KEBIJAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH/MADRASAH

(Analisis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS

Tahun 2000-2004 pasal 2 Bab VII Pembangunan Pendidikan)

Oleh: Dedik

Abstraksi

Isu seputar strategi peningkatan kualitas pendidikan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu (on going process). Salah satu bentuk inovasi dalam manajemen pendidikan adalah bergulirnya kebijakan mengenai Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS Tahun 2000-2004 pasal 2 Bab VII Pembangunan Pendidikan. Dalam pelaksanaannya, MBS yang terlebih dahulu diimplementasikan di negara-negara maju ini, tidak hanya diadopsi oleh sekolah umum tapi juga sekolah bernuansa Islam atau lazim disebut Madrasah.

Empat prinsip MBS/MBM, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan mandiri dan prinsip inisiatif sumber daya manusia, dinilai memberikan dampak positif bagi progresifitas sekolah atau madrasah, karena dengan menerapkan pola MBM, madrasah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, madrasah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang berkepentingan dengan madrasah sehingga memudahkan madrasah untuk mencapai tujuan pendidikannya.

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana, serta peningkatan mutu manajemen madrasah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Dari berbagai analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.[1]

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Hal ini dikarenakan penerapan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga madrasah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi madrasah setempat. Dengan demikian madrasah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas).

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah / Madrasah[2] ini berawal dari salah satu isi Undang-Undang nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, (Propenas), Khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan) digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Diantaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan atau keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Salah satu tujuan pembinaan madrasah, mulai dari pra madrasah sampai madrasah menengah adalah terselenggaranya manajemen yang berbasis madrasah dan masyarakat (school/community based education) atau yang populer dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBS). Ketentuan diatas diperkuat dengan Materi Undang-Undang Sisdiknas 2003, pasal 52 ayat (1), bahwa ”Pengelolaan Satuan Pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

B. Isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional ( PROPENAS ) Tahun 2000-2004 Pasal 2 Bab VII Pembangunan Pendidikan.

Isi dari UU RI No. 25 tahun 2000 tentang Propenas tahun 2000-2004 yang terkait dengan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah, secara eksplisit tertuang dalam pasal 2 Bab VII Pembangunan Pendidikan yang materinya sebagai berikut:

BAB VII. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

C. Program-Program Pembangunan.

1. Program Pendidikan Dasar dan Pramadrasah bertujuan untuk:

1) memperluas jangkauan dan daya tampung SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), SLTP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan lembaga pendidikan pramadrasah sehingga menjangkau anak-anak dari seluruh masyarakat.

2) Meningkatkan kesamaan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan perkotaan kumuh, daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan

3) Meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah dengan kualitas yang memadai.

4) Terselenggaranya manajemen pendidikan dasar dan pramadrasah berbasis pada sekolah/madrasah dan masyarakat (school/ community based management ).

2. Program Pendidikan Menengah.

Sasaran yang akan dicapai oleh program pembinaan pendidikan menengah sampai dengan akhir tahun 2004 adalah :

1) Meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) SMU, SMK dan MA

2) Meningkatnya daya tampung termasuk untuk lulusan SLTP dan MTs sebagai hasil penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun 5,6 juta siswa

3) Mewujudkan organisasi madrasah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan (countable) serta mendorong partisipasi masyarakat.

4) Terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis madrasah/masyarakat (school/community based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah/Madrasah di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah/Madrasah di setiap madrasah.

C. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Madrasah (MBM)

1. Pengertian

Manajemen berbasis madrasah atau School Based Management dapat didefinisikan sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh madrasah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan madrasah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu madrasah atau untuk mencapai tujuan mutu madrasah dalam pendidikan nasional.

2. Prinsip Manajemen Berbasis Madrasah (MBM)

Teori yang digunakan MBM untuk mengelola madrasah didasarkan pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan mandiri dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.[3]

1) Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality)

Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBM menekankan fleksibilitas sehingga madrasah harus dikelola oleh warga madrasah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleknya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, propinsi, apalagi Negara.

2) Prinsip Desentralisasi (Principle of Decentralization)

Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen pendidikan modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan madrasah dan aktivitas pengajaran tidak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.

3) Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principle of Self- Managing System)

MBM menyadari pentingnya membebaskan madrasah dalam mengambil berbagai kebijakan. Madrasah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing. Dan karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan bertanggung jawab.

4) Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)

Perspektif sumber daya manusia pada Manajemen Modern menekankan bahwa manusia adalah sumber daya berharga (human resources development) di dalam organisasi sehingga poin utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini maka MBM bertujuan untuk membangun lingkungan warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber daya manusianya.

3.Esensi Manajemen Berbasis Madrasah (MBM)

Esensi dari MBM adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu madrasah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi madrasah adalah kewenangan madrasah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga madrasah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan madrasah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.

Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga madrasah (guru, karyawan, siswa, orang tua, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan madrasah.

Pengambilan keputusan partisipasi berdasarkan asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan maka yang bersangkutan akan merasa memiliki dan bertanggung jawab serta berdedikasi sepenuhnya terhadap keputusan yang dibuat demi tercapainya tujuan madrasah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.

Dengan pola MBM, madrasah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Berdasarkan konsep dasar inilah maka perlu dilakukan penyesuaian dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru. Adapun perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari pola lama ke pola baru menuju MBM dapat digambarkan pada tabel berikut ini

Pola Lama

Pola Baru

Subordinasi

Pengambilan keputusan terpusat

Ruang gerak kaku

Pendekatan birokratik

Sentralistik

Diatur

Over regulasi

Mengontrol

Mengarahkan

Menghindari resiko

Gunakan uang semuanya

Individual yang cerdas

Informasi terpribadi

Pendelegasian

Organisasi hirarkis

Otonomi

Pengambilan keputusan partisipatif

Ruang gerak luwes

Pendekatan profesional

Desentralistik

Motivasi diri

Deregulasi

Mempengaruhi

Memfasilitasi

Mengelola resiko

Gunakan uang seefisien mungkin

Teamwork yang cerdas

Informasi terbagi

Pemberdayaan

Organisasi datar

Mengacu pada dimensi di atas, madrasah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya.

4.Tujuan Manajemen Berbasis Madrasah

MBM bertujuan untuk memberdayakan madrasah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu madrasah. Dengan kemandiriannya, maka:

1. Madrasah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.

2. Dengan demikian madrasah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.

3. Madrasah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik

4. Madrasah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga madrasah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.

5. Madrasah dapat melakukan persaingan sehat dengan madrasah-madrasah yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.

Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk madrasah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, madrasah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah

2. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)

3. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.

4. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.

5. Komitmen yang tinggi pada dirinya.

6. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

D. Isu-Isu Kontroversial Seputar Proses Penyusunan Kebijakan MBS Serta Tindak Lanjut Implementasinya.

Kajian ini memuat beberapa analisis yang dilakukan oleh para pemerhati pendidikan seputar proses penyusunan (tahap formulasi) dari kebijakan MBS ini yaitu:

1. Menurut analisis dari Nurkolis lahirnya model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.[4]

2. Menurut Analisis dari Abd. Rachman Assegaf bahwa lahirnya MBS ini adalah suatu keinginan pemerintah untuk turut andil dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Karena model manajemen yang mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan telah dilontarkan oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara di depan Kongres Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang pertama tanggal 31 Agustus 1928 di Surabaya, "Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat. Oleh karena itu, wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubung dengan sifatnya masyarakat seperti yang kita kehendaki."[5]

Dari dua uraian analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan MBS ini bersifat Top-Down karena pemerintah melihat perbedaan yang signifikan antara mutu pendidikan dalam negeri dan luar negeri. Saat ini kualitas pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke -112 dari seluruh negara-negara dunia. Setelah dilakukan studi banding ternyata negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Australia, El Salvador, Inggris, Hongkong, Selandia Baru dan lainnya telah menerapkan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah yang memberikan otonomi sekolah demi meningkatkan kualitas pendidikannya bersama masyarakat (Stakeholders).[6] Di luar negeri konsep tersebut bersifat bottom-Up.

Adapun implementasi MBS di Indonesia diatur dalam Juklak yang dirancang Depdiknas dalam format MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Menurut Whitaks dalam Pedoman MBM yang dikeluarkan Depag, sedikitnya terdapat empat tahapan implementasi MBM, yaitu sosialisasi, piloting, pelaksanaan dan diseminasi.

Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi. Hal ini diperumit dengan kebiasaan bangsa Indonesia yang kurang adaptif dan responsif terhadap perubahan, sehingga diperlukan strategi yang tepat menyangkut sosialisasi tujuan, proses maupun pengembangan MBM.

Tahap piloting merupakan tahap uji coba[7] agar penerapan konsep MBM tidak mengandung resiko. Efektivitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, replikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya penerimaan dari para tenaga kependidikan, khususnya guru dan kepala madrasah sebagai pelaksana dan penanggungjawab pendidikan di madrasah. Akuntabilitas artinya bahwa program MBM harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara konsep, operasional, maupun pendanaannya. Replikabilitas artinya model MBM yang diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakukan yang diberikan kepada madrasah uji-coba dapat dilaksanakan madrasah lain. Sementara sustainabilitas artinya program tersebut dapat dijaga kesinambungannya setelah dilakukan uji coba.

Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi dan lokakarya mini antara Kelompok Kerja MBM dengan berbagai unsur terkait, yakni guru, kepala madrasah, tokoh agama, pengusaha dan para akademisi.

Tahap diseminasi merupakan tahap memasyarakatkan model MBM yang telah diujicobakan ke berbagai madrasah baik negeri maupun swasta, agar seluruh madrasah dapat mengimplementasikan MBM secara efektif dan efisien sesuai dengan kondisinya masing-masing.

E. Dampak Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Madrasah.

Secara sosiologis – politis, dikeluarkannya kebijakan manajemen model ini mempunyai beberapa alasan: pertama, pemerintah tak lagi mampu memberikan subsidi secara penuh kepada lembaga pendidikan akibat kebangkrutan pemerintah sebagai dampak krisis moneter. Kedua, memberikan pemberdayaan madrasah dengan memberikan otonomi yang lebih besar terhadap tuntutan masyarakat dan merupakan sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.[8]

Manajemen model ini memberikan kebebasan pada Madrasah yang disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan memberikan tanggungjawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi manajemen sesuai dengan kondisi lembaga pendidikan setempat, madrasah dapat meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong kepala sekolah untuk meningkatkan kinerjanya secara profesional sebagai manajer di lembaga pendidikan.

Model MBS yang diterapkan di Indonesia adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Konsep dasar MPMBS adalah adanya otonomi dan pengambilan keputusan parsitipatif. Artinya, MPMBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing lembaga pendidikan baik yang bernaung di bawah Diknas maupun yang bernaung dibawah Depag seperti Madrasah secara individual baik dalam menjalankan program sekolah/madrasah maupun dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Dalam kedua proses tersebut, harus melibatkan stakeholders pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, MBM pun menemui beberapa kesulitan. Kesulitan utamanya menyangkut isu agama yang sarat konflik sehingga diperlukan kehati-hatian dalam merancang platform desentralisasi pendidikan agama. Lemahnya sumber daya manusia pun menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan MBM. Dan dalam rangka mengantisipasi rencana perubahan yang kelihatannya sulit namun tidak dapat dielakkan, perlu disusun beberapa alternatif yang dapat direalisasikan bagi pendidikan agama di lingkungan Departemen Agama (Depag).[9]

Alternatif pertama, eksistensi struktur Ditjen Binbaga Depag tetap dipertahankan, sedangkan penyelenggaraan pendidikan dilimpahkan kepada Pemda Tingkat II. Dasar pertimbangan alternatif ini adalah bahwa Depag tetap memegang kewenangan dalam mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selain itu, pembinaan pendidikan agama dan keagamaan secara operasional akan sama dengan pembinaan pendidikan madrasah umum.

Dalam alternatif pertama ini, Ditjen Binbaga memiliki kewenangan menetapkan kebijakan nasional, pembinaan, standarisasi mutu dasar, monitoring, dan evaluasi. Sedangkan daerah bertanggung jawab dalam penyediaan sarana, prasarana, pembinaan dan peningkatan kemampuan tenaga kependidikan.

Alternatif kedua, institusi Ditjen Binbaga Depag diintegrasikan ke dalam Dinas Pendidikan Nasional, sedangkan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan diserahkan ke pemerintah daerah. Dasar pertimbangan alternatif kedua ini adalah bahwa dengan satu atap di bawah Dinas Pendidikan Nasional, penyelenggaraan dan kualitas pendidikan agama akan sama dengan madrasah umum. Kekuatan alternatif kedua ini adalah pada satu atap, sehingga pendidikan agama dan keagamaan menjadi lebih terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional dan menghilangkan dikotomi kelembagaan yang substansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum. Akan tetapi, dalam alternatif terakhir ini harus ada jaminan bahwa pendidikan agama tidak akan dicampuri kepentingan politis. Artinya, harus ada jaminan mutu dari Dinas Pendidikan Nasional yang berkesinambungan atas peleburan secara struktural pengelolaan pendidikan agama.

E. Kesimpulan dan Saran

Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.

Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis madrasah. MBM bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan madrasah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBM diyakini akan muncul kemandirian madrasah.

Melalui penerapan MBM, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian madrasah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.


Pustaka Acuan

[1] Depdiknas , Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Buku I Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta : Direktorat SLP Dirjen Dikdasmen, 2001), hal. 1-2

[2] Konsep Manajemen Berbasis Sekolah yang ada dalam tulisan ini lebih penulis fokuskan pada pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang dimaksud adalah Madrasah. Jadi istilah yang dipakai adalah Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) walaupun secara tulisan berbeda namun substansinya sama. Perbedaanya hanya pada masalah-masalah sekunder saja seperti bila sekolah lebih bermakna umum tapi bila kajian madrasah lebih mengarah kepada Pendidikan Islam yang materi pelajarannya 30 % keagamaan. Juklak yang penulis ikuti juga berasal dari Depag RI, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Jakarta tahun 2005 tentang Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah.

[3] Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development (Washington D.C: The Falmer Press, 1996), hal 44-45

[4] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta : Grasindo, cet. Ke-III, 2006), hal. 109

[5] Kajian ini disampaikan oleh Dr. Abd. Rachman Assegaf pada hari kamis, 05-April 2007, saat mengampu mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam.

[6] Nurkolis, Manajemen Berbasis....., hal. 86-105

[7] Rintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) telah berjalan tiga tahun, yang dimulai sejak tahun pelajaran 1999/2000. Evaluasi yang dilakukan oleh Tim dari Universitas Negeri Semarang untuk SLTP dan Tim dari Inspektorat Jenderal Depdiknas untuk SMU, keduanya memberikan nilai positif. Artinya sebagian besar (hampir 80%) sekolah peserta rintisan berjalan dengan baik, sehingga memberi harapan besar program tersebut dapat diperluas jangkauannya. Untuk Madrasah Juklak Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah baru dibuat pada tahun 2005 sedangkan Depdiknas sudah membuat Juklaknya pada tahun 2001.

[8] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2006), hal. 234

[9] Azyumardi Azra, “Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah Implikasinya terhadap Pendidikan Islam,” dalam at-Ta’dib: Forum Kajian Ilmiah Kependidikan Islam, Nomor 1 tahun 2000, hal.9

Tidak ada komentar: