Selasa, 27 Mei 2008

artikel pak ketua kelas c

Insya Allah diisi ........

artikel dedik

artikelku,tapi belum ya......

Minggu, 25 Mei 2008

artikel


ILMU DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PENDIDIK

DALAM ISLAM

Oleh: Zulkifli Syah, S.Ag

I. PENDAHULUAN

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan di kaji secara terbuka oleh Masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan Ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton dan Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas Individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.[1]

Dalam Islam ada tanggung jawab besar yang diperhatikan dan disoroti oleh penalaran logika, yakni tanggung jawab seorang pendidik. Pendidik mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya, seperti tanggung jawab Iman, tanggung jawab etika, tanggung jawab fisik, tanggung jawab Rasio, tanggung jawab kejiwaan, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab seksual. Tanggung jawab tersebut merupakan suatu amanah yang harus diembannya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di sekolah, namun yang tidak kalah pentingnya terlibat secara langsung di masyarakat, dan dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku seorang pendidik tidak berhenti pada penelaahan keilmuan di sekolah secara individual namun ikut juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

Diantara tanggung jawab besar seorang pendidik adalah berupa tanggung jawab pengajaran, bimbingan dan pendidikan. Ini sesungguhnya bukan tanggung jawab kecil dan ringan, karena tanggung jawab dalam persoalan ini telah dituntut sejak seorang anak dilahirkan hingga ia menginjak usia dewasa yang sempurna. Jelaslah, bahwa seorang seorang pendidik, baik guru, ayah dan ibu, maupun tokoh masyarakat, ketika melaksanakan tanggung jawabnya secara sempurna, melaksanakan kewajiban-kewajiban penuh dengan rasa amanat, kesungguhan, serta sesuai dengan petunjuk Islam, maka sesungguhnya ia telah mengarahkan segala usaha untuk membentuk individu yang penuh dengan kepribadian dan keistimewaan.

Ketika seorang pendidik yang telah diperkaya dengan ilmu pengetahuan, maka dia mempunyai tanggung jawab moral untuk mengimplementasikan keilmuannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, Keilmuan seorang pendidik tidak akan terlepas dari tanggung jawabnya dari sisi manfaat dan mudharat kepada orang lain.

Namun, jika proses penerapan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang pendidik belum diterapkan secara maksimal, maka akibatnya akan menimbulkan banyak penyelewengan dan ketimpangan. Sifat amoral tidak bisa dielakkan lagi, nilai-nilai keimanan tertepikan, nilai-nilai pendidikan moral terabaikan, serta kehidupan sosial kemasyarakatan tak dihiraukan lagi. Jika hal tersebut tidak dicarikan solusi dan penyelesaiaannya maka seorang pendidik dianggap tidak berhasil di dalam membimbing, membina, dan mengarahkan masyarakatnya.

Menarik untuk dikaji pada makalah ini adalah seputar tentang bagaimana klasifikasi atau pembagian ilmu menurut para filosof dan hierarki ilmu dapat dipahami secara sempurna. Dan bagaimana pokok-pokok tanggung jawab pendidik dalam membimbing dan membina masyarakat agar produk keilmuannya dapat disosialisasikan dan diterapkan dalam kehidupan.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu dan Tanggung Jawab

Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘Alima, ya’lamu, ‘Ilman, dengan wazan (timbangan) fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar.[2] Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan)- scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.[3] Jadi, pengertian ilmu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[4] Pada umumnya, ilmu didefinisikan sebagai sejenis pengetahuan, tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuan.[5]

Definisi ilmu menurut para ahli berbeda-beda, di antaranya:[6]

- Muhammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunan dari dalam.

- Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sitem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

Dari beberapa definisi tentang ilmu yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal obyektif, dapat diukur, terbuka serta komulatif.

Tanggung jawab adalah Keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)[7]. Istilah tanggung jawab dalam bahasa Inggris (responsibility)[8], dan dalam bahasa Latin responsum (jawaban)[9]. Lorens Bagus berpendapat bahwa Konsep tanggung jawab berdasarkan ide-ide: Pertama, Kewajiban. Maksudnya terdapat tindakan-tindakan yang harus dan dapat dijalankan oleh suatu makhluk sosial. Kedua, Liabilitas (kemungkinan untuk digugat). Artinya, kelalaian seseorang terhadap tindakan-tindakan ini dapat dikenakan hukuman. Ketiga, ketaatan seseorang terhadap tindakan-tindakan ini berkaitan dengan ganjaran (penghargaan, pujian).[10]

Dari ketiga konsep tanggung jawab yang dikemukakan Lorens Bagus tersebut maka penulis berasumsi bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kehidupan sosial, artinya seorang ilmuan atau pendidik memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupan masyarakat untuk mempertanggung jawabkan keilmuan yang dimilikinya, dan jika dalam penerapan keilmuan tersebut terjadi kekeliruan atau kesalahan maka ia dituntut dan digugat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

B. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu

Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) di masukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tak berguna.[11] Klasifikasi ini memberikan makna implisit menolak adanya sekularisme, karena wawasan Yang Kudus tidak menghalang-halangi orang untuk menekuni ilmu-ilmu pengetahuan duniawi secara teoritis dan praksis.[12]

Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis (urutan atau tingkatan)[13]ilmu-ilmu metodologis, ontologis dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuan muslim sesudahnya membuat kalsifikasi ilmu-ilmu.[14]

Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan juga teologi dialektis. Beliau memberikan rincian ilmu-ilmu relegius (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filisofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.[15]

Sedangkan Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu terakhir ini disebut juga ilmu ghairi syar’iyyah. Begitu juga Quthb al-Din membedakan jenis ilmu menjadi ulum hikmy dan ulum ghair hikmy. Ilmu non filosofis menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu relegius, karena ia menganggap ilmu itu, berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syari’ah (hukum wahyu).[16] Pemakaian istilah ghair oleh Al-Ghazali dan Quthb al-Din untuk ilmu intelektual berarti, bagi keduanya, ilmu syar’iyyah lebih utama dan lebih berperan sebagai basis (landasan)untuk menamai setiap ilmu lainnya.[17]

Dari beberapa tokoh filosof yang telah diuraikan di atas bagi penulis sangat penting diuraikan tentang klsifikasi Al-Ghazali, sebab Al-Ghazali-lah sebagai peletak dasar filosofis pertama kali teori iluminasionis dalam arti pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Dan dia berpendapat bahwa pengetahuan intuisi/ma’rifah yang datang dari Allah langsung kepada seseorang adalah pengetahuan yang paling benar.

Adapun Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah, sebagai berikut: 1) Ilmu Syar’iyyah, terdiri dari; ilmu tentang prinsip-prinsup dasar (al-Ushul), Ilmu tentang keesahan Tuhan (al-Tauhid), Ilmu tentang kenabian, Ilmu tentang akhirat atau eskatologis, Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori: yakni; Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat) dan Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari: Ilmu Qur’an, ilmu riwayat al-hadis, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh. Selain itu, ada juga Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) seperti; Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah), Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat (Ilmu tentang transaksi, termasuk qishas dan Ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum keluarga), Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak). 2) Ilmu Aqliyyah. Ilmu ini terdiri dari: Matematika (aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, musik), Logika, Fisika/ilmu alam (kedokteran, meteorologi, minerologi, kimia), Ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika, Ontologi (Penegetahuan tentang; esensi, sifat, dan aktifitas ilahi, pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana, pengetahuan tentang dunia halus (Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi),teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supranatural.[18]

Dengan klasifikasi Al-Ghazali tersebut, maka sejarah perkembangan ilmu pasca Al-Ghazali mengalami pengaruh cukup signifikan. Bahkan pemikiran ilmu di dunia Islam cenderung kurang rasionalistik dan lebih selaras dengan pandangan dunia al-Qur’an. Oleh karena itu banyak para pemikir dan filosof sesudahnya mengembalikan peran nalar pada posisi seimbang. Dengan demikian, secara umum terjadi perkembangan dalam sejarah Islam, dalam keilmuan yang meliputi; ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu tafsir, bahasa Arab, ilmu Kalam atau teologi, fiqih siyasah atau hukum tata negara, peradilan, tasawuf, tarekat, akhlak, sejarah politik, da’wah Islam, sains Islam, pendidikan Islam, peradaban Islam, perbandingan agama, kebudayaan Islam, Pembaharuan dan pemurnian dalam Islam, studi wilayah Islam, studi bahasa-bahasa dan sastra –sastra Islam. Ilmu itu kemudian berlanjut berkembang dan memiliki cabang masing-masing.[19]

Khususnya di abad kontemporer, upaya integrasi terus dilakukan guna mencapai upaya Islamisasi ilmu. Dan perihal yang perlu diketahui bahwa yang membedakan antara upaya pengembangan ataupun klasifikasi jenis dan bentuk ilmu di barat dan dunia Islam adalah Islam mengenal visi hierarki keilmuan. Yakni Islam memandang terdapat hierarki dalam obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui, juga terjabar secara hierarkis ke dalam berbagai keilmuan. Dan kemudian masing-masing ilmu memiliki visi prioritas dan relegius.[20]

C. Pokok-pokok Tanggung Jawab Pendidik.

Kalau kita teliti ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah saw. yang menganjurkan kepada para pendidik untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dan memperingatkan mereka manakala melalaikan tanggung jawab itu, maka ada beberapa tanggung jawab pendidik yang merupakan amanah yang harus dipikul. Tanggung jawab pendidik tersebut begitu banyak dan yang mendesak untuk diangkat pada makalah ini adalah tanggung jawab pendidikan Iman dan tanggung jawab pendidikan moral, mengingat dunia hari ini, sedang kehausan nilai-nilai relegius. Diantara tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab Pendidikan Iman

Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mulai mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.

Dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, semisal beriman kepada Allah swt., beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh kedua malaikat, beriman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hisab, syurga, neraka, dan seluruh perkara ghaib lainnya.

Rukun Islam adalah, setiap ibadah yang bersifat badani, maupun materi, yaitu shalat, puasa, zakat, dan haji bagi orang yang mampu untuk melakukannya.

Dasar-dasar syariat adalah, segala yang berhubungan dengan sistem atau aturan Ilahi dan ajaran-ajaran Islam, berupa akidah, ibadah, akhlak, perundang-undangan, peraturan, dan hukum.

Kewajiban pendidik adalah, menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman di atas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan teladannya.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, ada beberapa petunjuk dan wasiat Rasulullah saw. tentang pendidikan Iman kepada anak;[21]

1) Membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda; “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Rahasianya adalah, agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat yang pertama diucapkan oleh lisannya dan lafal pertama yang dipahami anak.

2). Mengenalkan hukum-hukum halal dan haram kepada anak sejak dini

Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia berkata:

“Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka”.[22]

Jika kita memperhatikan pernyataan dari Ibnu Abbas ra. Tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa Allah memerintahkan kepada pendidik atau orang tua untuk mengajari anak-anaknya mentaati Allah swt. yakni dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah swt. agar terhindar dari siksaan api neraka, dan sekaligus memberikan motifasi akan pentingnya pengenalan hukum-hukum halal dan haram yang ditetapkan di dalam agama Islam atau yang menjadi ketentuan syara (hukum). Dan selanjutnya anak selain memahami hukum-hukum tersebut, tidak ada salahnya jika diperkenalkan hukum-hukum yang lain, selain hukum Islam.

3) Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun.

Al-Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Amr nin al-Ash ra. Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

“Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila tidak mau melakukannya disaat mereka berusia sepuluh tahun lalu pisahkanlah tempat tidur anak laki-laki dan perempuan”.

Dari hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw., Memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat, ketika mereka berumur 7 (tujuh) tahun. Bila anak-anak telah mencapai usia 10 (sepuluh) tahun maka mereka dapat diajari tentang pokok-pokok shalat, tentang gerakan-gerakan dan bacaan-bacaannya. Supaya hal ini dapat dilaksanakan dengan baik dan benar maka orang tua terlebih dahulu memberikan contoh, dan menjadi teladan rajin melaksanakan shalat lima waktu. Dan apabila pada usia ini anak enggan melaksanakannya padahal sudah dibimbing, dibina dan dipraktekkan oleh orang tua, maka Rasulullah menyatakan pukullah ia. Penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan memukul pada teks hadis tersebut adalah pukulan yang membuat anak sadar akan pentingnya shalat, dan bukan pukulan yang menyakitkan badan/jasmani dan jiwa anak.

4) Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca al-Qur’an.

At-Tabrani meriwayatkan dari Ali ra. Bahwa Nabi saw. bersabda:

“Didiklah anak-anak kamu pada tiga hal: mencintai Nabi kamu, mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur’an. Sebab, orang-orang yang ahli al-Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari perlindunganNya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang suci”.[23]

Melihat hadis Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik diberikan amanah oleh Rasulullah saw. untuk mendidik anak-anaknya kepada tiga hal yakni mencintai Nabinya, mencintai keluarganya dan mencintai al-Qur’an yaitu dengan membacanya. Mengapa hal ini dianjurkan Rasulullah saw.? sebab, orang-orang yang senantiasa memelihara tiga hal tersebut, akan berada dalam lindungan Allah swt. pada saat tidak ada perlindungan di hari Akhirat selain perlindungan Allah swt.

2. Tanggung Jawab Pendidikan Moral

Yang dimaksud dengan pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadiskan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan. Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan seseorang yang benar.

Para ahli pendidikan dan sosiologi barat sangat menaruh perhatian akan adanya pertalian erat, antara iman dengan moral dan akidah dengan perbuatan. Sehingga mereka mengeluarkan beberapa petunjuk, pendapat dan pandangan yang menyesatkan, bahwa ketentraman, perbaikan dan moral tidaka akan tercipta tanpa adanya agama dan iman kepada Allah swt.

Beberapa pendapat dan pandangan mereka diantaranya;[24] Pachtah, seorang filosof Jerman mengatakan, “Moral tanpa agama adalah sia-sia.” Ghandi, Tokoh pimpinan India menyatakan, “Agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu. Dengan kata lain, agama memberikan makan, menumbuhkan dan membangkitkan moral, seperti halnya air memberikan makanan dan menumbuhkan tanaman.” Denank, seorang hakim Inggris menyatakan kecamannya terhadap seorang menteri Inggris yang telah bertindak amoral, “Tanpa agama, tidak mungkin di sana akan ada moral. Dan tanpa moral, tidak mungkin akan tercipta undang-undang. Agama adalah satu-satunya sumber yang terpelihara dan dapat membedakan moral baik dan buruk. Agamalah yang mengikatkan manusia untuk meneladani sesuatu yang paling luhur. Agamalah yang membatasi egoisme seseorang, menahan kesewenang-wenangan naluri, dan menanamkan perasaan halus yang hidup dan menjadi dasar keluhuran moral. Kant, seorang filosof kenamaan sebagaimana telah disebutkan di atas mengatakan, “Moral itu tidak akan tercipta tanpa adanya tiga keyakinan, yaitu keyakinan adanya Tuhan, kekalnya roh dan adanya perhitungan setelah mati.”

Dengan melihat berbagai pendapat para filosof tersebut, maka jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dari aspek moral. Karena pentingnya pendidikan moral ini, Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada kita, Pertama; “Tiada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik”. Kedua; “Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Ketiga; “Ajarkalah kebaikan kepada anak-anak mu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.

Dari sabda Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik hendaknya memperhatikan pendidikan moral, etika dan budi pekerti untuk ditanamkan sejak usia dini dalam rangka membentuk jiwa dan kepribadian mereka dimasa yang akan datang. Jika penerapan sikap ini sudah tertanam di dalam jiwa anak, maka kehidupan sosial kemasyarakatan akan membawa dampak yang positif. Ini berarti bahwa seorang pendidik telah berhasil dalam proses pendidikannya.

III. PENUTUP

Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarki yakni ilmu-ilmu metodologis, ontologis dan etis. Al-Ghazali adalah salah seorang filosof Muslim yang telah membagi ilmu menjadi dua bagian yakni ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Klasifikasi ilmu Al-Ghazali menjadi rujukan munculnya berbagai cabang ilmu yang lain yang dikembangkan oleh para ilmuan sesudahnya. Tanggung jawab sosial pendidik memiliki pokok-pokok tanggung jawab yang sangat urgen dan kompleks seperti; tanggung jawab pendidikan Iman dan tanggung jawab pendidikan moral. Perlu diupayakan penerapan ilmu bagi pendidik kepada anak didik sehingga keilmuan yang diperolehnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Perlunya disosilisasikan dengan sungguh-sungguh beberapa tanggung jawab di atas, dalam rangka membentuk jiwa anak untuk berkepribadian yang Islami.

Demikianlah tulisan yang sederhana ini, Penulis masih mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, guna memperoleh kesempurnaan tulisan ini.Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia, 2000.

Bahthiar, Amsal. Filsafat Ilmu ,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Bakar, Osmar. Hierarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998. cet. III.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. cet.I edisi.III.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia Jakarta: PT Gramedia, 2003.

Kamarulzaman, AKA. Kamus Ilmiah Serapan,Yogyakarta: Absolut, 2005.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 1984.

Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1989. cet.I

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.


[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 237.

[2]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 1984), hlm. 1036.

[3]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 12.

[4]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, cet.I edisi.III, 2001), hlm. 423.

[5]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,2002), hlm. 527.

[6]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 15.

[7]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1139.

[8]John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2003), hlm. 481.

[9]Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia, 2000), hlm. 1067.

[10]Ibid.

[11]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu , hlm. 122.

[12]Ibid.

[13]AKA Kamarulzaman, Kamus Ilmiah Serapan (Yogyakarta: Absolut, 2005), hlm. 252.

[14]Osmar Bakar, Hierarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan, cet. III, 1998), hlm.161-171.

[15]Ibid.

[16]Ibid.

[17]Ibid.

[18]Ibid.

[19]Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, cet.I, 1989), hlm. 351.

[20]Amsal Bahthiar, Filsafat Ilmu , hlm. 128.

[21]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 166.

[22] Ibid., hlm. 168.

[23] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hlm. 168.

[24]Ibid., hlm. 196-197

Sabtu, 17 Mei 2008

Arikel Pendikan



VISI MADRASAH DAN KESIAPANNYA MENGHADAPI PERUBAHAN GLOBAL

Oleh : Ali Muhtarom
Abstraksi:
Pengaruh globalisasi dalam bidang kehidupan adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan tidak bisa dhindari. Ia merupakan makhluk yang mau tidak mau harus diterima dengan lapang dada. Dalam menghadapi adanya globalisasi, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah koordinasi Departemen Agama dituntut untuk berperan aktif dalam upaya memberikan kepuasan dalam mutu pelayanannya pada masyarakat. Sehingga dengan adanya mutu madrasah bisa menjadi lembaga pendidikan Islam yang diprioritaskan oleh masyarakat. Untuk itu sudah saatnya madrasah berkompetisi dengan lembaga pendidikan lain (Sekolah umum) dengan membangun visi yang progresif dan menyiapkan diri dalam merespon perubahan global.

Pendahuluan
Era globalisasi lahir karena adanya kemajuan-kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi. Artinya dengan adanya kemajuan-kemajuan tersebut setiap peristiwa penting yang terjadi di mana pun di dunia ini akan segera tersebar secara global ke seluruh dunia dengan cepat.
Globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan menjadikan dunia pendidikan harus menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pendidikan yang masih berpijak pada konsep lama maka akan ditinggalkan oleh perkembangan jaman itu sendiri. Sementara pendidikan yang pro-perubahan maka akan segera berbenah dan menjadikan perubahan global sebagai pengaruh positif untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Karenanya pendidikan yang modern dan berkualitas menjadi pilihan masyarakat masa kini dalam menghadapi tantangan global yang begitu kompleks terutama dalam persaingan untuk mendapatkan kesempatan sebagai bagian dari perubahan dunia yang sangat kompetitif.
Salah satu pengertian globalisasi adalah sebagaimana yang dikatakan Giddens bahwa globalisasi mengacu pada ”intensifikasi hubungan-hubungan sosial diseluruh dunia yang mengkaitkan berbagai lokalitas dengan satu cara tertentu dimana peristiwa lokal bisa dipengaruhi oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya. Globalisasi merupakan proses yang mendorong umat manusia untuk beranjak dari cara hidup dengan wawasan nasional semata-mata ke arah cara hidup dengan wawasan global. Dalam wawasan ini dunia dipandang sebagai suatu sistem yang utuh, bukan sekedar sebagai kumpulan dari keping-keping geografis yang bernama ’negara’ atau ’bangsa’.[1] Dalam situasi kehidupan yang bersifat global, gejala-gejala serta masalah-masalah tertentu hanya dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik apabila mereka diletakkan dalam kerangka yang bersifat global, bukan dalam kerangka lokal, nasional atau regional
Madrasah adalah lembaga pendidikan keagamaan dengan visi, misi dan sistem pengajaran tertentu yang selama ini masih terkesan tradisional. Hal itu bisa dilihat dari karakter spesifik yang tidak hanya melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran agama, tetapi juga memberikan bimbingan hidup di dalam masyarakat.[2] Dengan spesifikasinya dalam menghadapi realitas global tersebut mau tidak mau madrasah harus berbenah diri agar tidak tertinggal oleh pendidikan lain yang lebih modern dan berkualitas. Terutama oleh perkembangan masyarakat yang sangat selektif dalam memberikan apresiasi pada dunia pendidikan.
Meskipun keberadaan madrasah di Indonesia rata-rata masih tertinggal dari pendidikan konvensional peranannya tidak bisa di pandang sebelah mata. Menurut survey Abdul Rahman seluruh siswa madrasah (MI, MTs dan MA) saat ini berjumlah 5.633.940[3] itu artinya sekitar 12 persen lebih dari total jumlah siswa Indonesia menurut Abbas yang berjumlah 43.399212 orang[4] dan dengan jumlah lembaga Madrasah secara keseluruhan di Indonesia sebanyak 35.908 buah. Realitas angka tersebut menunjukkan madrasah memiliki kedudukan yang cukup penting dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan undang-undang.
Dalam perkembangannya madrasah sudah mulai berupaya mensejajarkan diri dengan pendidikan-pendidikan lain. Hal itu ditunjukkan dengan bermunculannya madrasah-madrasah unggul dan berprestasi baik tingkat daerah maupun nasional. Hanya permasalahannya jumlah madrasah yang berkualitas masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah siswa maupun lembaganya yang begitu banyak di Indonesia. Sementara itu dari jumlah madrasah berkualitas yang sedikit tersebut keberadaan madrasah binaan negara atau departemen agama (Depag) sangat menonjol padahal jumlah madrasah swasta adalah mayoritas dan tidak kurang dari 90 persen madrasah didominasi swasta. Tentunya realitas tersebut merupakan pekerjaan rumah (home work) semua pihak terutama pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan nasional (Depdiknas) dan Depag untuk mencari jalan keluar agar madrasah tidak semakin terpuruk di dalam pusaran komunitas pendidikan global. Bukankah amanat undang-undang pendidikan nasional (Sisdiknas) 2003, secara tersirat menjelaskan bahwa pendidikan nasional mengedepankan peserta didik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan ciptaan terbaik yang dilengkapi dengan segala fitrahnya agar memiliki tugas membangun kehidupan yang berharkat dan bermartabat, baik di dunia maupun di akhirat.[5] Pendidikan berarti adalah milik semua atau tidak ada dikhotomi maupun deskriminasi. Pendidikan menekankan semua aspek potensi diri baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik untuk kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya lebih menyelami apa itu madrasah dan bagaimana visinya menghadapi tantangan jaman yang sedemikian rupa, marilah kita ungkap beberapa hal sebagai pedoman untuk mencari inti permasalahan sehingga memudahkan memberikan tawaran solusi.
Pengertian Visi Madrasah
Visi merupakan hal yang sangat penting dan urgen dalam lembaga pendidikan, termasuk di madrasah. Visi menurut Aan Komariah dengan mengutip dari Beach[6] vision defines the ideal future, perhaps implying retention of the current culture and the activities, or perhaps implying change. Maksudnya, visi adalah masa depan yang ideal, bisa berupa retensi budaya dan kegiatan organisasi yang sedang berjalan atau bisa pula yang berupa perubahan. Visi dalam definisi ini merupakan perencanaan yang memerlukan perubahan berbagai hal tidak terkecuali budaya dalam internal organisasi. Dan perubahan tersebut bisa bersifat radikal maupun bertahap tergantung kebutuhkannya.
Adapun Gaffar mendefinisikan visi adalah daya pandang jauh ke depan, mendalam dan luas yang merupakan daya piker abstrak yang memiliki kekuatan amat dahsyat dan dapat menerobos batas-batas fisik, waku dan tempat. Gerak dimensi waktu tersebut tergantung daya imajinasi manusia didasari alasan, dan melalui argumentasi yang rasional.[7] Sementara dari pengertian itu Aan Komariah sendiri mendefinisikan visi atau wawasan adalah pandangan yang merupakan kristalisasi dan intisari dari kemampuan (competency), kebolehan (ability), dan kebiasaan (self efficacy) dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan. Di dalamnya mengandung intisari dari arah dan tujuan, misi, norma, dan nilai yang merupakan satu kesatuan yang utuh.[8] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa visi merupakan idealisasi pemikiran tentang masa depan mengenai pendidikan (madrasah) yang merupakan kekuatan kunci dari organisasi. Karenanya bisanya visi tidak memerlukan kalimat yang terlalu panjang dan yang terpenting mengandung intisari dari tujuan organisasi tersebut. Menurut Sallis, statemen visi mengisyaratkan tujuan puncak dari sebuah institusi dan untuk apa visi itu dicapai. Visi harus singkat, langsung dan menunjukkan tujuan puncak institusi.[9] Beberapa organisasi baik jasa maupun industri membuat visi yang singkat, sederhana dan mudah diingat kemudian mengembangkan visi tersebut dengan beberapa pernyataan sehingga menjadi sempurna. Contohnya “Sekolah yang berstandar Internasional”, “Madrasah yang unggul dalam IPTEK dan IMTAQ” dan sebagainya.
Visi madrasah harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan pemerintah, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis pendidikan dan juga sesuai dengan profil madrasah yang bersangkutan. Dengan kata lain, visi harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak didik dan masyarakat yang dilayani. Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil madrasah, khususnya potensi dan kebutuhan masyarakat yang dilayani tidak selalu sama. Oleh karena itu dimungkinkan madrasah memiliki visi yang tidak sama dengan lembaga lain, asalkan tidak keluar dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional. Visi pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filiosofis dan supaya tidak terjadi multi tafsir, visi harus diberikan indikatornya.
Madrasah seperti yang diketahui selama ini, dari beberapa literatur, dapat dibagi dalam dua pengertian yaitu pertama, pengertian umum. Disana memiliki makna tidak hanya secara “harfiah” semata tetapi memiliki arti historis dan kultural dimana madrasah itu ada. Secara historis madrasah berawal dari prakarsa pemerintahan Nidzam (Nidzam Al Mulk) untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan untuk menyebarkan keilmuan agama Islam pada faham tertentu. Selanjutnya pada abad petengahan (457 H) madrasah nizamiyah ini menjadi percontohan (trend) dan kebanggaan di waktu itu. Menurut Makdisi pertumbuhan madrasah melewati tiga tahap, yaitu: (1) Tahap Masjid, (2) Tahap Masjid Khan dan (3) Madrasah.[10] Adapun yang dikembangkan sistem pengajaran madrasah waktu itu dari segi materi sudah memasukkan pengetahuan umum seperti ilmu pengobatan (at-Tib), sastra dan bahasa kemudian ilmu logika dan berhitung. Sementara itu dalam pengelolaan madrasah sudah menerapkan tingkatan dan tugas pengajar antara mudarris (guru), mu’id (asisten) dan wu’adz (tutor). Di samping itu madrasah juga mengenal adanya nazir atau wali yang mempunyai tanggungjawab terhadap aktifitas madrasah, dan terpilih dari orang-orang yang berkompeten atau ahli dibidangnya.[11]
Kedua, madrasah dalam pengertian khusus. Khusus dalam hal ini adalah lebih kepada fenomena keindonesiaan. Jadi madrasah di Indonesia meski ada yang berpendapat sama dengan madrasah di Timur Tengah, tetapi dalam sejarahnya lebih cenderung merupakan bagian dari pesantren. Maksum menjelaskan evolusi kelembagaan pendidikan di wilayah ini pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah, dan kemudian sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari pendidikan pesantren dan surau.[12] Sementara menurut Mochtar Buchori madrasah adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan bersaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa.[13]
Menurut Sukamto, pertumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh dua faktor, yaitu menguatnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan kolonial Belanda.[14] Untuk sebab terakhir dimana pendidikan Islam semakin terdesak dengan kebijakan pendidikan Belanda yang mementingkan kemajuan pendidikan di kalangan mereka dan kurang memperdulikan pendidikan pribumi, terutama pendidikan Islam yang semakin dibatasi. Para tokoh Islam pun berupaya memperkuat dan mengembangkan pendidikan Islam sehingga tidak tertinggal dan tertindas dari pendidikan penjajah. Para tokoh pengembangan Madrasah tersebut antara lain; Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur (1914) di Surabaya. Rangkayo Rahmah Al-Yunusi (1915) di Padang Panjang dan K.H.. Hasyim Asy’ari (1919) mendirikan madrasah salafiyah di Jombang.[15] Dengan perjuangan mereka maka madrasah semakin eksis dan menemukan momentumnya terutama satelah kemerdekaan. Dimana madrasah tidak hanya sekedar merupakan pendidikan yang mengajarkan keilmuan keagamaan semata namun telah menjadi bagian dari pendidikan nasional.
Meskipun pengertian madrasah tersebut disesuaikan dengan latar belakangnya masing-masing. Di mana menurut sejarahnya madrasah lebih ditekankan pada aspek keagamaan, yaitu mencetak para ahli agama yang paripurna (‘alim) meski visi tersebut tidak lepas dari pengaruh kepentingan penguasa. Pengertian visi madrasah dapat dikemukakan merupakan cara pandang atau wawasan yang ideal untuk perubahan pendidikan (madrasah) ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama dan perkembangan jaman. Dan hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan visi madrasah di Indonesia waktu itu. Cita-cita atau visi mendirikan madrasah berkaitan dengan ibadah untuk mencapai keridlaan Allah sehingga kemudian berkait dengan fungsi ibadah sosial yang kebanyakan menjadi tugas partikelir atau swasta.[16]
Visi Madrasah di Era Perubahan
Dalam skala nasional visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui proses pendidikan. Masyarakat Indonesia baru tersebut memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak asasi manusia, serta berpengertian dan berwawasan global.[17]
Kemudian visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlaq tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azazi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.[18]
Sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman dan visi pendidikan nasional di atas maka visi madrasahpun dituntut berubah. Dimana awalnya madrasah berorientasi kepada pendidikan keagamaan (tafaqquh fiddin), maka madrasah masa depan harus lebih dari itu, yaitu sebagai jenis pendidikan umum yang sama dengan sekolah di bawah naungan departemen pendidikan nasional, tapi berciri khas agama Islam. Sejalan dengan tujuan tersebut maka melalui PP No. 28 tahun 1990 Bab III Pasal 4 Ayat (3) direalisasikan yang berisi “Sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing di sebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah”. Sementara itu dalam Keputusan Menteri Pendiikan dan Kebudayaan No. 0489/V/1992 tentang Sekolah Menengah Umum dalam Pasal 1 Ayat (6) disebutkan bahwa: “Madrasah Aliyah adalah SMU yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Agama”.[19]
Adapun visi dan misi madrasah masa kini adalah madrasah harus senantiasa menjadikan anak bangsa beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dalam mewujudkan visi tersebut maka madrasah seperti diungkapakan Abdul Rahman[20] mengemban visi untuk mengembangkan satuan pendidikan yang:
Populis, yaitu madrasah yang harus dicintai masyarakat, karena madrasah tumbuh dari masyarakat dan dikembnagkan oleh masyarakat.
Islami, yaitu madrasah yang berciri khas agama Islam sesuai dengan ajaran (ahlussunnah waljama’ah) yang mampu menciptakan anank-anak bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.
Berkualitas, yaitu madrsah yang mampu mencetak anak-anak bangsa yangmemilki kemampuan dan ketrampilan yang cukup dan sanggup menghadapi tantangan jaman.
Dengan demikian terdapat benang merah antara kebijakan masa lalu, kebijakan memasukkan pendidikan umum di tahun 1950 sampai diberlakukannya Undang-undang No.2 Tahun 1989 yang memberi penegasan tentang Madarasah adalah sekolah umum yang memiliki ciri spesifik agama Islam. Selanjutnya keberadaan madrasah dipertegas lagi dalam Undang-undang SISDIKNAS pada Pasal 17 Ayat (2) tentang pendidikan dasar dan menengah, MI dan MTs setara dengan SD dan SMP kemudian pasal 17 Ayat (3) tentang Madrasah Aliyah setara dengan SMU. Dan dalam realisasinya kebijakan tersebut berjalan bertahap pada pemberian proporsi pengajaran keagamaannya. Terutama yang memang diprogramkan khusus memndalami masalah agama seperti madrasah aliyah program khusus (MAPK) yang proporsi pengajaran agamanya mencapai 70 % dan umum hanya 30 %. Hanya saja MAPK ini belum masuk dalam aturan UU SISDIKNAS. Dan dimanakah pesantren? Lembaga pendidikan yang disinyalir tertua di Indonesia ini dalam UU SISDIKNAS Pasal 30 Ayat (4) diman pesantren dimasukkan dalam bentuk pendidikan keagamaan bersama pendidikan diniyah.
Dengan adanya pengakuan negara dan mulai meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap madrasah tersebut, secara tidak langsung dikhotomi antara madrasah dan sekolah umum, yang selama ini menjadi perdebatan sengit mulai berkurang intensitasnya. Pada gilirannya baik madrasah dan sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan eksisitensinya sebagai pendidikan yang diharapkan. Namun kondisi yang menggembirakan ini berimplikasi terhadap semakin beratnya tanggung jawab dan peranan madrasah dalam mencetak generasi unggul di masa depan. Apalagi sudah menjadi fenomena bahwa madrasah merupakan pendidikan alternatif kedua (second choice) masyarakat setelah sekolah umum. Meskipun secara teori pendidikan yang ideal masa kini dan yang akan datang terdapat pada madrasah, karena pendidikannya memadukan antara IPTEK dan IMTAQ secara seimbang. Bahkan pola yang diterapkan di madrasah menjadi acuan sekolah-sekolah unggulan seperti SD Azhar Jakarta, SMP Hidayatullah Malang, SMA Cendikia Bandung, dan sebagainya. Kenapa keraguan kepada madrasah untuk siap bersaing di era global ini masih tinggi?
Dalam menjawab permasalahan diatas menurut Azyumardi Azra[21] ada dua pertanyaan pokok yang perlu diajukan. Pertama, sampai dimanakah program yang diselenggarakan madrasah mencerminkan dan turut mengarahkan perubahan social- budaya. Kedua, bagaiamana posisi dunia pendidikan madrasah vis-à-vis perubahan. Kedua pertanyaan tersebut patut diajukan karena program pendidikan madrasah masih terdapat kesenjangan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat perkembangan begitu cepat terlebih memasuki abad global tentunya membutuhkan pendidikan yang berkualitas untuk mengantisipasinya. Sementara program, fasilitas, sumberdaya manusia dan manajemen masih bermasalah. Kemudian yang lebih krusial lagi, adalah masih rendahnya visi dan orientasi para pengelola madrasah dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan.[22] Bisa dikatakan madrasah mengalami problema yang begitu kompleks “maju kena dan mundurpun kena”, dimana terdapat masalah internal (penguatan visi, program, fisik, manajemen dan mutu pendidikan yang handal) dan eksternal tantangan perubahan global yang menyangkut nilai-nilai baik ekonomis maupun moral.
Langkah Strategis Madrasah
Secara formal ada dua departemen yang menangani pendidikan secara nasional, yaitu Depdiknas dan Depag. Karenanya madrasah yang merupakan subsistem dalam sistem pendidikan nasional adalah setara dengan pendidikan yang lain. Madrasah menggunakan kurikulum seutuhnya, buku paket yang sama, mengikuti ujian nasional (UN) dan mengikuti berbagai petunjuk yang diberikan oleh Depdiknas. Madrasah dibedakan dengan sekolah umum dengan menambah jumlah jam pada pelajaran agama (antara 4-9 jam pelajaran seminggu) sebagai pelaksanaan ciri khas agama Islam pada tingkat MI, MTs dan MA.[23] Sementara itu masyarakat diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan nasional yang berciri khas agama Islam atau menyelenggarakan madrasah swasta.
Dalam era otonomi daerah ini ada beberapa terobosan penting bisa dikatakan strategis yang dilakukan madrasah untuk menjawab tantangan perubahan masyarakat. Artinya kewenangan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah sudah meluas tidak hanya menjadi terpusat pada Depag maupun Diknas tapi masyarakat juga dilibatkan, dalam hal ini pemerintah daerah dan masyarakat luas. Adapun langkah yang dilakukan madrasah, pendidikan yang lebih kepada berbasis masyarakat adalah dengan menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan.yang meliputi empat unsur, yaitu school review, quality assurance, quality control dan bench marking.
School review, merupakan suatu proses yang didalamnya seluruh pihak sekolah bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan, untuk, mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijaksanaan sekolah, program pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Melalui school review diharapkan mendapatkan laporan yang membeberkan kelemahan, kekuatan-kekuatan dan prestasi sekolah serta memberikan rekomendasi untuk menyusun perencanaan strategis pengembangan sekolah pada masa-masa mendatang tiga tahun berikutnya.
Quality assurance, sebagai jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur uyang ditetapkan. Dengan demikian diharapkan dengan proses tersebut akan menghasilkan output yang yang memenuhi standar pula. Untuk itu diperlukan mekanisme checking/control agar semua kegiatan yang dilaksanakan di sekolah dikendalikan dalam standar proses yang ideal tadi. Dengan quality assurance ini pihak sekolah dapat meyakinkan masyarakat bahwa sekolah akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh murid-muridnya.
Quality control, yaitu suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai standar. Standar kualitas ini dipergunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui maju mundurnya kualitas sekolah. Suatu sekolah baik yang tergolong unggulan (excellence), normal dan yang rendah dapat melakukan quality control seperti membandingkan antara NEM masuk dengan hasil lulusan (output), serta outcome-nya pula.
Bench marking, yaitu suatu kegiatan menetapkan standar, baik itu proses maupun hasil yang akan dicapai pada suatu periode tertentu. Untuk kepentingan praktis standar tersebut direfleksikan dari suatu realitas yang ada semisal perilaku mengajar guru (internal bench marking), demikian pula dalam standar kualitas pendidikan, direfleksikan dari sekolah yang baik (external bench marking).[24]
Mendukung peningkatan mutu pendidikan Islam terutama madrasah terutama kualitas sumberdaya manusia (SDM) tersebut, Depag bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia memberikan kesempatan belajar di jenjang lebih tinggi, setingkat pasca sarjana, kepada para pendidik madrasah dan pendidikan Islam di seluruh Indonesia. Program tersebut merupakan agenda tahunan yang dimulai pada tahun 2006. Dengan program yang sangat prestisius itu diharapkan ke depan madrasah dan pendidikan Islam akan semakin maju dan dapat bersaing dengan pendidikan lain di era global ini.
Di dalam pelaksanaannya peningkatan mutu pendidikan tersebut, tentulah diperlukan perencanaan dan langkah-langkah operasional secara bertahap, hasil pelaksanaan kegiatan diperlukan perencanaan dan langkah-langkah operasional pula, selanjutnya hasil kegiatan tersebut harus dievaluasi secara periodik untuk mengetahui pencapaian target dan perkembangan yang terjadi pada sekolah tersebut.
Disamping adanya perubahan dalam paradigma mutu di madrasah, juga perlu adanya pengembangan pola model madrasah. Dalam hal ini langkah maju telah dicapai oleh Departemen Agama untuk mengembangkan madrasah menjadi madrasah unggulan seperti pembangunan madrasah model, madrasah terpadu, dan pemberdayaan (empowering) madrasah. Dengan madrasah model diharapkan menjadi agen of change (pelopor perubahan) terhadap madrasah-madrasah disekitarnya untuk bersama-sama maju menjadi madrasah yang berkualitas. Selain itu madrasah model berfungsi sebagai teladan, fungsi pelatihan, fungsi kepemimpinan, fungsi pengawasan, pendidikan, fungsi pelayanan, dan fungsi pengembangan profesi. Kemudian madrasah terpadu adalah konsep integral pendidikan selam 12 tahun dari tingkat dasar (MI), MTs dan MA dalam satu lokasi dan memiliki kesatuan adminisitrasi, manajemen dan kurikulum. Sampai saat ini Depag telah menunjuk 7 MI, 7 MTs dan 7 MA sebagai madrasah terpadu yang masih tersebar di Jawa (Malang, Jakarta dan Yogyakarta) dan Sumatera (Palembang, Padang, Jambi dan Aceh)[25] dan kiranya perlu pengembangan di tempat-tempat lain. Dan empowering madrasah ditujukan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Dengan langkah strategis yang telah dilakukan madrasah dan pemerintah baik Depag maupun Diknas di atas serta dukungan dari masyarakat tersebut maka tidak menutup kemungkinan dalam waktu tidak lama madrasah dapat mensejajarkan diri dengan sekolah-sekolah lain yang lebih maju. Konsistensi dan komitmen untuk memberikan perhatian serta pengembangan kepada madrasah-madrasah lain terutama swasta yang belum maju adalah suatu keharusan apabila menginginkan madrasah mencapai kemajuan secara merata. Perhatian dan pengembangan tersebut tidak terbatas pada bentuk teknis semata tetapi yang lebih penting adalah penghargaan, bantuan fasilitas dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas.
Penutup
Madrasah secara historis merupakan pendidikan yang lama dan ikut mewarnai perkembangan pendidikan di Indonesia. Meskipun ada yang mengkaitkan dengan munculnya madrasah di timur tengah.
Visi Madrasah pada awalnya adalah untuk mencetak generasi Islam yang mumpuni dalam bidang keagamaan dan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap masyarakat. Kemudian dalam perkembangan sesuai dengan tuntutan jaman maka visi mengalami revisi yaitu madrasah harus senantiasa menjadikan anak bangsa beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Artinya visi madrasah lebih sempurna antara kemampuan IPTEK dan kepribadian IMTAQ.
Untuk mengembangkan visi yang modern tersebut maka madrasah harus berbenah baik ke dalam (internal) dan keluar (eksternal). Secara internal yaitu visi lebih tajam, kurikulum, peningkatan mutu SDM, fasilitas yang memadai dan manajemen yang berkualitas. Dan eksternal yaitu dengan menenmpatkan diri dalam percaturan global melalui peran serta menjaga nilai-nilai moral dan daya saing global. Disamping itu inovasi pendidikan yang kreatif dan dinamis merupakan suatu tuntutan untuk menghadapi perubahan jaman yang semakin pesat.

Endnote
[1] Muchtar Buchori Transformasi Pendidikan, (Jakarta: IKIP-NJ Press, 1995), cet.ke-1,. 140
[1] Abdul Rahman, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) h. 20
[1] Ibid., h. 23
[1] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, (Jakarta: PSAP, 2006), h. 14
[1] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 285
[1] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership, (Bandung: Bumi Aksara, 2005), h. 83
[1] Ibid., h. 82
[1] Ibid., h. 85
[1] Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (terj. Ahmad Ali Riadi), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 216
[1] Ainur Rafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Yogyakarta: Lista Fariska Putra, 2005), h. 31
[1] Maksum, Madrasah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 67
[1] Ibid., h.. 80
[1] Mochtar buchori, “Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Prisma No. 05 Tahun 1989, h. 80
[1] Ainur Rofiq, Manajemen…, h. 34
[1] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 19
[1] Ibid., h. 20
[1] Enco Mulyasa, KBK Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung: Rosdakarya, 2004), h. 19
[1] Ibid.
[1] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 34-35
[1] Ibid., h. 83
[1] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), h. 73
[1] Ibid., h. 72
[1] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 84
[1] Ibid., h. 85-86
[1] Ibid., h. 41-43





[1] Muchtar Buchori Transformasi Pendidikan, (Jakarta: IKIP-NJ Press, 1995), cet.ke-1,. 140
[2] Abdul Rahman, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) h. 20
[3] Ibid., h. 23
[4] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, (Jakarta: PSAP, 2006), h. 14
[5] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 285
[6] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership, (Bandung: Bumi Aksara, 2005), h. 83
[7] Ibid., h. 82
[8] Ibid., h. 85
[9] Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (terj. Ahmad Ali Riadi), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 216
[10] Ainur Rafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Yogyakarta: Lista Fariska Putra, 2005), h. 31
[11] Maksum, Madrasah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 67
[12] Ibid., h.. 80
[13] Mochtar buchori, “Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Prisma No. 05 Tahun 1989, h. 80
[14] Ainur Rofiq, Manajemen…, h. 34
[15] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 19
[16] Ibid., h. 20
[17] Enco Mulyasa, KBK Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung: Rosdakarya, 2004), h. 19
[18] Ibid.
[19] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 34-35
[20] Ibid., h. 83
[21] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), h. 73
[22] Ibid., h. 72
[23] Abdul Rahman, Madrasah…, h. 84
[24] Ibid., h. 85-86
[25] Ibid., h. 41-43

Kamis, 15 Mei 2008

Salam...!

Salam sejahtera untuk semua...semoga kita selalu diberikan kesuksesan. AMin...

Jumat, 09 Mei 2008

ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

DENGAN NAMA ALLAH SWT. ALHAMDULILLAH SITUS JARINGAN KOMUNIKASI GURU PAI INDONESIA DAPAT DIRESMIKAN OLEH DR. H. IMAM THOLKHAH MA SEBAGAI DIREKTUR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN ISLAM DEPAG RI PADA HARI SABTU, 10 MEI 2008
SEMOGA DENGAN DIRESMIKANNYA SITUS INI DAPAT MEMPERMUDAH PARA GURU PAI UNTUK MENCURAHKAN SEGENAP POTENSINYA MELALUI KARYA TULIS ILMIAH.
DENGAN PETUNJUK ALLAH SEMOGA JARINGAN INI JUGA DAPAT MEMPERERAT SILATURAHIM BAGI GURU PAI DI INDONESIA KHUSUSNYA ALUMNI PROGRAM BEASISWA DEPAG KERJASAMA UIN SUNAN KALIJAGA ANGKATAN 2006 DAN 2007

SILAHKAN KIRIMKAN KARYA TULIS DAN IDE KREATIF ANDA UNTUK KEMAJUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA KE ALAMAT EMAIL : firmansukses_fauzan@Yahoo.co.id

Yogyakarta, 10 Mei 2008

Artikel Pendidikan


PROBLEMATIKA LEMBAGA PENDIDIKAN SWASTA

Antara Cita dan Realita

Oleh : M. Fadholi Noer

Abstraksi

Tak seorangpun dapat mengingkari pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan ini telah mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan. Pengelolalaan pendidikan oleh masyarakat merupakan wujud nyata partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa di antara bangsa-bangsa lain.. Namun sayangnya, partisipasi masyarakat yang sangat besar ini seringkali kurang mendapat sambutan semestinya oleh pemerintah. Perlakuan yang kurang adil dalam pembiayaan pendidikan merupakan contoh paling nyata. Tulisan berikut mencoba menganalisis dan mendudukan posisi pendidikan swasta yang selama ini terkesan dianaktirikan.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sebuah kata yang menggelitik banyak elemen masyarakat Indonesia bahkan insan seluruh jagad raya. Pendidikan selalu menjadi masalah yang aktual dalam kehidupan manusia sehari-hari. Masalah pendidikan adalah masalah yang rumit, karena banyak hal yang saling kait mengkait, bahkan disana-sini sering timbul berbagai masalah seperti kurangnya sarana, kurangnya tenaga porfesional, kurangnya dana akan selalu mewarnai dunia pendidikan, lebih-lebih bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Belum lagi kalau kita dihadapkan pada suatu pilihan yaitu antara kuantitas dan kualitas pendidikan.

Dalam dunia pendidikan kita, tidak pernah akan “menarik” jika dikatakan sudah bebas dari persoalan-persoalan yang melingkupinya. Baik persoalan pada ranah filosofis, ranah adminsitratif, serta ranah metodologis. Persoalan itu timbul kemungkinan besar disebabkan karena dua hal, yang pertama karena penddikan itu sendiri tidak bisa steril dari sisi kehidupan lain (faktor ekstern), dan yang kedua karena kepedulian penguasa sebagai penyelenggara sekaligus penanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan di negeri ini yang perlu dipertanyakan.

Dalam paradigma baru pendidikan nasional yang terdapat di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) tahun 2003, tentang kesetaraan dan keseimbangan, disebutkan konsep kesetaraan antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat didalamnya tidak ditemukan adanya istilah satuan pendidikan “plat merah” milik pemerintah (baca: sekolah negeri) atau “plat kuning” milik masyarakat (baca: sekolah swasta), yang artinya bahwa dalam UU SISDIKNAS tersebut tidak membedakan pendidikan produk pemerintah (baca : sekolah negeri) dan sekolah produk swasta (baca: sekolah swasta). Dengan bahasa sederhananya pemerintah tidak memposisikan sekolah-sekolah swasta sebagai “anak tiri” dalam konstalasi perpolitikan pendidikan nasional. Sehingga idealnya semua sekolah baik negeri ataupun swasta berhak memperoleh dana, layanan dan kemudahan-kemudahan dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini secara adil atau tanpa diskriminasi dari negara dalam suatu sistem yang terpadu.[1] Terlepas dari idealitas yang ada di UU SISDIKNAS, tulisan ini ingin melihat idealitas itu dalam “ Cita dan Realita” sekolah Swasta di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Tujuan Pendidikan dalam UU SISDIKNAS

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai potensi yang merupakan anugerah tersendiri dari Tuhan. Potensi yang dimilikinya harus dikembangkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pengembangan tersebut bisa dilakukan dengan cara mendidik, membina dan mengarahkan, dengan bahasa yang sederhana manusia itu butuh pendidikan.

Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan keberlangsungan pendidikan (yang dibutuhkan manusia), dituangkan dalam tatanan UU SISDIKNAS. Dalam UU SISDIKNAS tahun 2003, mengenai pendidikan, pemerintah merumuskan tujuan pendidikan tersebut, bahwa pendidikan berorientasi pada pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan bangsa, serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang siap IMTAK dan IPTEK.[2] Menurut rumusan ini ada dua hal yang akan menjadi sasaran pendidikan yaitu ranah kecerdasan spiritual (termasuk juga emosional) dan kecerdasan intelektual. Namun demikian bukan berarti rumusan diatas sudah sempurna. Akan tetapi beberapa hal yang belum terakomodir dalam teks undang-undang tersebut, yaitu menafikan peran manusia dari segi sosial yang ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan masyarakat sebagaimana diamanatkan PBB.[3]

Dalam pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan-kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi”.

Pasal di atas dapat ditafsirkan ke dalam pengertian, bahwa pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pendidikan, memberikan layanan dan kemudahan kepada setiap warga (baca: pendidik, peserta didik dan masyarakat) untuk mendapatkan layanan pada lembaga-lembaga pendidikan negeri ataupun swasta dengan tanpa adanya diskriminasi. Kalimat “tanpa diskriminasi” yang terdapat pada pasal 11 ayat (1) tersebut dapat diartikan juga bahwa tidak adanya perlakuan pemerintah yang berbeda terhadap sekolah negeri maupun swasta. Dengan kata lain semua mendapat perlakuan yang sama dalam tatanan idealnya, sehingga tidak akan muncul istilah "penganak- emesan" pada sekolah milik pemerintah saja (baca: sekolah negeri).

2. Peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan dan penentuan kebijaksanaan pemerintah (melalui Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional) di Indonesia. Peran serta masyarakat mempunyai fungsi ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada di masyarakat bagi penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dirinci menjadi beberapa jenis: (1) pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis sekolah kecuali sekolah kedinasan, dan pada semua jenjang pendidian di jalur sekolah; (2) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan dan bantuan untuk peserta didik; (3) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan; (4) pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional, (5) pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa (6) pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, (7) pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar; (8) pemberian kesempatan untuk magang dan atau latihan kerja; (9) pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraaan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional; (10) pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan atau penyelenggaraan pendidikan nasional; (11) pemberian bantuan dan kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (12) keikutsertaan dalam program pendidikan dan atau penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah di dalam dan atau di luar negeri.

3. Penyelenggaraan Pendidikan dan Potret Lembaga Pendidikan Swasta

Hal yang masih menjadi problem “berat” dalam penyelenggaraan pendidikan nasional bangsa Indonesia adalah masalah adanya penyelenggaraan pendidikan yang mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah yaitu lembaga pendidikan yang diurus oleh pemerintah (sekolahan atau PT negeri) dan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang kurang (kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali) mendapatkan perhatian dari pemerintah. Adanya dikotomisasi antara pendidikan negeri dan swasta setelah pemerintah Orla mengeluarkan Undang-undang No. 12 tahun 1954. Menurut Mastuhu hal tersebut mengimplikasikan banyak hal negatif yang menyimpang dari cita-cita pendidikan, yaitu diskriminasi pendidikan antara sekolahan-sekolahan negeri dan swasta, mata pelajaran agama dan umum.[4]

Penyelenggaraan pendidian yang diskriminatif tersebut seharusnya sudah tidak terjadi lagi, kalau kita membaca UU SISDIKNAS tahun 2003 pasal 11 yang mengatakan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah berkewajiban memberikan layanan, kemudahan, dan penyelenggaraan pendidikan yang tanpa diskriminatif.[5]

Selain itu dalam amanat Pembukaan UUD 1945 negara (pemerintah) mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 pasal 45.

Perlakuan diskriminatif serta adanya dikotomisasi antara pendidikan negeri dan swasta sesungguhnya dapat dikategorikan melanggar UU serta dapat dikatakan sebagai tindakan education crime yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu sikap dualisme pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bisa diartikan sebagai sikap yang kurang memperhatikan nasib pendidikan nasional.[6]

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa timbulnya lembaga pendidikan negeri dan swasta karena pemerintah Orla mengeluarkan Undang-undang No. 12 tahun 1954. adanya pendidikan yang berlabel negeri dan swasta sangat berdampak pada perjalanan pendidikan nasional. Kita bisa melihat misalnya pemerintah hanya memperhatikan sekolahan-sekolahan yang negeri, baik dari segi sarana, prasarana, tenaga pengajar (guru/dosen), mutu pendidikan, dan fasilitas lainnya. Sementara sekolahan atau lembaga pendidikan yang diurus oleh masyarakat atau sekolahan swasta harus kerja keras mencari sumber-sumber pendanaan sendiri di satu sisi dan dituntut untuk menghasilkan mutu yang berkwalitas di sisi lain. Karena harus mencari sumber pendanaan sendiri tak jarang ditemukan sekolahan-sekolahan yang sudah tidak layak pakai, misalnya gedung yang sudah bengkak-bengkak, atap bocor, dan tidak adanya fasilitas untuk pembelajaran.

Kondisi di atas masih diperparah lagi dengan adanya kesan masyarakat (public image) yang mengatakan bahwa sekolahan swasta tidak bermutu dan mahal. Sebetulnya kalau kita mau telusuri lebih lanjut sebetulnya image tersebut tidak salah. Sekolahan negeri hampir dapat dipastikan segala kebutuhannya dicukupi oleh pemerintah, mulai dari tenaga pengajar, gedung, dan sumber-sumber belajar lainnya, sehingga sekolahan negeri dapat dipastikan mempunyai fasilitas yang lebih dibandingkan dengan sekolahan swasta. Seluruh fasilitas yang ada di sekolahan negeri adalah subsidi dari pemerintah, maka sekolahan tidak perlu menarik SPP (biaya bulanan) kepada siswa melebihi sekolahan swasta.

Karena mempunyai fasilitas dan sumber belajar yang relatif lengkap dibandingkan dengan sekolahan swasta, maka output-nyapun lebih mempunyai kompetensi yang lebih baik ketimbang sekolahan swasta. Kondisi dan keberadaan sekolahan negeri dan swasta di negeri ini lebih banyak sekolahan swasta, artinya orang yang akan masuk pada sekolahan negeri harus bersaing ketat karena daya tampung sekolahan negeri sangat terbatas.

Kondisi “negatif” lembaga pendidikan swasta sebagaimana tercermin di atas tidak serta merta bahwa sekolahan swasta tidak mempunyai keunggulan atau nilai positif sekalipun. Paling tidak kita akan menemukan dua segi yang dimiliki oleh sekolahan swasta yang itu justru akan menjadi problem besar bagi sekolahan negeri setelah adanya desentralisasi dan otonomisasi.

Pada segi organisasi tidak sedikit sekolahan swasta yang sudah menunjukkan efisiensi yang cukup memadai. Karena alasan berbagai hal organisasi di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi swasta lebih ramping dan efisien. Misalnya diatas kepala sekolah hanya ada pengurus yayasan yang bertindak sebagai pemilik sekolahan serta pembuat kebijakan dasar. Hubungan antara pimpinan sekolah dengan pengurus yayasanpun lebih dekat, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh sekolahpun yayasan bisa memahami dan terdeteksi. Dari segi pengelolaan keuanganpun, sekolahan swasta seringkali lebih menunjukkan sikap kemandirian. Banyak sekolahan swasta yang mampu membiayai seluruh proses pembelajaran dengan sedikit subsidi dari pemerintah, atau bahkan tanpa subsidi pemerintah sekalipun.

4. Pengelolaan Sekolah Swasta

a. Pengelolaan sekolah di Depdiknas

Pada dasarnya pertanggung jawaban manajemen dan kontrol sekolah di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sekolahan negeri dan sekolahan swasta. Jenis pertama, sekolah negeri adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah; sebaliknya jenis kedua, sekolah swasta adalah sekolah yang hanya dalam hal-hal tertentu mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dan sebagainya) sehingga sekolah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolaan serta kontrol pemerintah.

Secara kuantitatif, serta berdasarkan jejang pendidikan, kontribusi sekolah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan pra sekolah, kontribusi sekolah swasta sangat besar dari 1997/1998 s.d. 1999/2000, ada sedikit penurunan partisipasi (walaupun tidak signifikan) dari sekolah swasta akan tetapi dapat dikatakan bahwa hampir seluruh taman kanak-kanak (TK) diselenggarakan oleh lembaga swasta (lebih dari 99%). Sementara pada jenjang sekolah dasar (SD), SD negeri sangat mendominasi keberadaan SD. Keadaan ini merupakn salah satu sukses dari pelaksanaan Intruksi Presidan dalam bentuk “SD Inpres” yang dimulai tahun 1973.[7]

Secara kualitatif, belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia. Namun demikian, secara kasuistik, untuk pendidikan menengah khususnya di Jawa Tengah dan DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa beberapa sekolah menengah swasta memiliki kualitas yang sama atau lebih baik dari sekolah menengah negeri akan tetapi secara keseluruhan kualitas sekolah menengah swasta lebih rendah dari kualitas sekolah menengah negeri. Secara umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas sekolah swasta.[8]

b. Pengelolaan Sekolah di Depag

Jenjang-jenjang madrasah yang dikelola oleh Departemen Agama (Depag) sangat mirip dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Depdiknas. Walaupun madrasah memiliki karakteristik dan struktur seperti karakteristik sekolah pada umumnya, madrasah tidak disupervisi oleh Depdiknas tetapi disupervisi oleh Depag sebagaimana ditegaskan oleh Keppres NO. 34 (1972).

Selanjutnya, Keppres tersebut bersama dengan Peraturan Pelaksanaannya “Instruksi Presidan” No. 15 (1972) memberikan seluruh kewenangan kepada Depdiknas untuk menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan di sekolah negeri maupun swasta termasuk pengembangan program-program pendidikannya. Akan tetapi pada kenyataannya, Depdiknas hanya memiliki kontrol yang terbatas terhadap sekolah dan bahkan sangat sedikit (kalau dikatakan tidak ada) terhadap madrasah.

Seperti halnya pengelolaan sekolah di Depdiknas, pada dasarnya pertanggung jawaban manajemen dan kontrol madrasah juga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu madrasah negeri dan madrasah swasta. Jenis pertama, madrasah negeri, adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama); sebaliknya jenis kedua, madrasah swasta adalah madrasah yang hanya dalam hal-hal tertentu saja mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dan sebagainya) sehingga madrasah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolan serta kontrol pemerintah. Secara kuantitatif, serta berdasarkan jenjang pendidikan, kontribusi madrasah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia juga cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan pra sekolah, kontribusi madrasah swasta sangat besar. Walaupun data dari 1997/1998 s.d 1999/2000 tidak lengkap (hanya tersedia data untuk tahun 1999/2000 saja) tetapi dapat diperkirakan bahwa partisipasi masyarakat/swasta adalah sangat besar serta dapat dikatakan hampir seluruh RA/BA diselenggarakan oleh lembaga swasta.

Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), MI swasta sangat mendominasi (lebih dari 93%). Walaupun ada kecenderungan bahwa partisipasi swasta sedikit menurun dalam kurun waktu tersebut tetapi penurunan ini tidak signifikan. Selanjutnya, pada pendidikan menengah di madrasah tsanawiyah (MTs) terdapat kecenderungan dimana pada kurun waktu yang sama mengalami penurunan yang berfluktuasi dan yang tidak signifikan. Pada jenjang sekolah menengah terdapat kecenderungan yang sedikit kontradiktif dengan kecenderungan di MTs walupun partisipasi madrasah swasta masi selalu jauh lebih besar daripada partisipasi madrasah negeri (sekitar 83%).[9]

5. Kontribusi Sekolah Swasta

Besarnya kontribusi sekolah swasta, yang juga berarti besarnya partisipasi masyarakat merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Sangat bervariasinya kualitas kontribusi sekolah swasta, pada umumnya lebih rendah dari rata-rata kualitas sekolah negeri, terasa belum memberikan hasil yang optimal bagi pengembangan pendidikan. Karena itu, upaya untuk lebih memberdayakan kemampuan sekolah swasta serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan perlu segera dilakukan agar tidak dicapai perkembangan pendidikan seperti yang diharapkan.

Beberapa masalah lain yang dapat diidentifikasi dalam pengembangan sekolah swasta pada saat ini antara lain. Pertama, peningkatan jumlah sekolah swasta seringkali tidak disertai dengan peningkatan kualitas sekolah. Seringkali, sekolah swasta dibangun berdasarkan lebih kepada “keinginan” daripada “keperluan” masyarakat setempat, selain itu pendistribusian sekolah swasta juga kurang tepat. Yang kedua, sekolah swasta memiliki masalah manajerial yang lebih bervariasi dibandingkan dengan masalah manajerial yang dihadapi oleh sekolah negeri. Sebagai contoh, sebelum desentralisasi pendidikan diterapkan, sekolah menengah negeri hanya mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemerintah saja (dalam hal ini “Kakanwil”) sebaliknya sekolah menengah swasta mempertanggungjawabkan kinerjanya tidak hanya pada pemerintah saja (dalam hal ini “Kakanwil”) tetapi juga kepada lembaga/yayasan yang mendirikan sekolah menengah tersebut.[10]

Ketiga, rendahnya kualitas manajemen dari sebagian besar sekolah swasta dan output pendidikannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) beberapa sekolah swasta tidak berfungsi sebagaimana seharusnya seperti yang diharapkan masyarakat sekitarnya; b) kompetensi dan kualitas guru cukup bervariasi di jenjang pendidikan dasar. Data terbaru dari Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas (2001) menginformasikan bahwa jumlah guru SD Negeri yang memiliki kelayakan mengajar sedikit lebih banyak daripada guru SD swasta sebaliknya jumlah guru SLTP negeri yang memiliki kelayakan mengajar lebih sedikit (walaupun tidak signifikan) daripada guru SLTP Swasta. Walaupun data yang disajikan hanya data SD dan SLTP. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memperkirakan bagaimana kontribusi sekolah swasta untuk pendidikan pada umumnya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas guru lebih diprioritaskan kepada sekolah negeri walaupun pada kenyataannya jumlah guru sekolah swasta jauh lebih banyak daripada jumlah guru sekolah negeri.[11] c) rendahnya kualitas sarana / prasarana di sebagian besar sekolah swasta. Salah satu penyebab hal ini adalah rendahnya anggaran pendidikan untuk sekolah swasta. Dibandingkan dengan sekolah negeri, sekolah swasta menerima jauh lebih sedikit anggaran pendidikan dari pemerintah karena seluruh sekolah swasta hanya menerima sekitar 10% saja dari seluruh anggaran pendidikan nasional.[12]

Keempat, ada beberapa bagian dari administrasi pendidikan yang perlu diperbaiki, misalnya: Job Description dari supervisi pendidikan belum dideskripsikan secara jelas. Dalam praktik sehari-hari, supervisi pendidikan hanya dipandang sebagai tugas tambahan dari kepala unit kerja, dan hal ini akan menghasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien. Dengan tidak adanya minimal requirement bagi kepala sekolah (khususnya dalam hal latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang administrasi dan supervisi pendidikan), akan dihasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien.[13]

6. Optimalisasi Peran Sekolah Swasta Ke depan sebagai Solusi

Berdasarkan keadaan di atas, partisipasi masyarakat dan swasta adalah demikian besar akan tetapi aspek kualitas kontribusi masyarakat atau partisipasi swasta masih perlu ditingkatkan serta adanya kecenderungan yang terjadi dewasa ini di dalam dunia pendidikan (yaitu penerapan manajemen pendidikan yang lebih bersifat desentralistik). Salah satu pendekatan untuk melakuan upaya optimalisasi peranan swasta/masyarakat tersebut adalah pendekatan “manajemen berbasis sekolah” serta “manajemen berbasis masyarakat”. Dengan pendekatan tersebut peran sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan dapat dioptimalkan. Upaya ini juga sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang melaksanakan perubahan sistem manajemen yang lebih bersifat desentralistik.

Pendekatan ini berupaya memperpendek jalur birokrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat diharapkan perlakuan pemerintah terhadap sekolah negeri dan sekolah swasta menjadi relatif sama. Selain itu, dengan semakin pendeknya jalur birokrasi, kemungkinan terajdinya “kebocoran” akan dapat semakin dikurangi.

Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai karakteristik bottom-up dengan anggapan bahwa aparat suatu daerah adalah yang paling mengetahui kondisi daerahnya (dibandingkan dengan aparat daerah lainnya atau bahkan petugas pusat sekalipun). Jelas, hal ini juga berlaku untuk sektor pendidikan di daerah. Selanjutnya, prinsip ini juga menuntut agar aparat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah untuk mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi masalah-masalah di lingkup kerjanya. Kemampuan problem-solving, kepekaan terhadap masalah serta kemampuan mencari alternatif penyelesaian masalah, akan sangat bermanfaat dalam melaksanakan tugas-tugas manajerial di lingkup kerja masing-masing. Selain itu, kemampuan ini harus didukung oleh tersedianya data yang relevan. Kemampuan problem-solving serta tersedianya data yang akurat, tepat guna, dan tepat waktu ini merupakan dua syarat utama yang harus dimiliki petugas daerah maupun sekolah jika efisiensi pengelolaan pendidikan di Kabupaten/Kota dan di sekolah ingin ditingkatkan.

Dalam jangka panjang, peningkatan kemampuan aparat daerah maupun sekolah dalam hal problem-solving serta mengelola dan memanfaatkan data informasi ini akan meningkatkan pula kemampuan mereka dalam mengambil keputusan sesuai dengan wewenang yang mereka miliki dan selanjutnya akan memperlancarnya upaya desentralisasi pendidikan di kabupaten/kota maupun di sekolah. Inilah yang dimaksud dengan desentralisai dalam pengelolaan pendidikan dimana aparat daerah dan aparat pusat bekerja bersama-sama saling mengisi secara harmonis, sesuai dengan kemampuan serta kewenangan masing-masing. Pada hakekatnya di dalam pengelolaan pendidikan sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi selalu bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian di atas, sistem pendidikan nasional semestinya berkembang menuju sistem pendidikan yang terpadu antara jalur sekolah (formal) dan luar sekolah (non formal) yang memungkinkan masyarakat memiliki akses dan pilihan yang semakin luas serta fleksibel terhadap pendidikan. Dengan keterpaduan sistem nasional itu akan mendukung terwujudnya proses belajar sepanjang hayat (life long learning) dan masyarakat belajar (learning society). Dengan cara itu, maka potensi-potensi masyarakat dapat dikembangkan secara optimal.

Mengenai adanya dikotomi secara realitas (meskipun dalam UU SISDIKNAS diperlakukan sama) antara sekolah negeri dan swasta baik dalam hal pelayanan maupun pendanaan, menurut penulis sebaiknya perlu adanya pengembangan kebijakan dalam rangka mengurangi akses dari dikotomi sekolah negeri dan swasta. Hal yang perlu dikembangkan untuk kebijakan tersebut adalah diperhatikan bagi sekolah negeri ataupun swasta yang dana masyarakatnya sudah cukup besar, pemerintah tidak perlu memberikan subsidi yang sama dengan sekolah yang akumulasi dananya kecil. Selain itu, perlu dicari varian-varian yang dapat dipakai untuk mendinamisasikan pendanaan pendidikan yang mengarah ke satu pola: partisipasi masyarakat lebih didorong dan yang lemah dibantu. Subsidi berkelanjutan tidak diperhitungkan secara pukul rata melainkan didasarkan atas berbagai macam pertimbangan. Misalnya jumlah siswa, status sosial ekonomi siswa, logasi geografis, bidang yang dibina (yang langka tersentuh subsidi), besar kecilnya partisipasi masyarakat dan lain-lain.


Pustaka Acuan

[1] Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pas 11 (1) dan (2)

[2] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang SISDIKNAS (Jakarta: Depag RI, 2003) hlm. 37

[3] Lihat Tilaar dalam Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yang menyebutkan bahwa UNESCO telah merekomendasikan enam pilar pendidikan yang harus dilaksanakan baik oleh negara berkembang maupun maju. Keenam pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, learning to how learn, dan learning to through out line.

[4] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2003) hlm. 21

[5] Arifin Anwar, …ibid. hlm. 40

[6] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yogyakarta: LkiS, 2005) hlm. 21

[7] www.http//cp. Pengudi luhur. Org.

[8]Suryadi A dan Tilaar H.AR. Analisis Kebijakan Pendidikan suatu Pengantar.(bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1994), hlm. 226

[9] www.pangudiluhur.org.688ms

[10] Sigit. S. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. (Jakarta:PT. Gramedia, 1992), hlm. 24

[11]Suryadi A. dan Tilaar, Analisis Kebijakan…, hlm. 232

[12] Silaban. S dkk, Pendidikan Indonesia dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta(Jakarta:, Dasa Media, , 1993), hlm. XIX

[13] Nawawi H dan Martini M. Kebijakan Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum,(Yogyakarta: UGM Press, , 1994), hlm. 288-289.